Selasa, 27 November 2012

SALDO HATI



Memory of Nov, 21st 2012

“Pulsa……” seruku dengan nada agak tinggi, sudah hampir 3 kali aku memanggil-manggil pemilik counter langgananku. Counter yang sekaligus rumah tinggal itu masih terlihat sunyi, hanya pintu yang menghubungkan counter dengan rumah didalamnya yang terlihat terbuka. Membuatku yakin bahwa pemilik counter ada dalam rumahnya. Belum juga terdengar sahutan, apalagi seseorang atau setidaknya sepotong makhluk hidup muncul. “Citra…” teriakku lumayan nyaring, juga untuk panggilan kesekian kalinya. Aku sudah terlanjur menulis nomor HP ku di buku list isi pulsa seperti biasanya, sehingga mau tidak mau aku harus menunggu sang pemilik counter. Beberapa menit berlalu, aku duduk di kursi pelanggan  menghadap ke pintu kecil gerbang kampus yang kurasa lebih mirip gang tikus. Sering aku dengar anak-anak kampus menyebutnya dengan “Jembatan Cinta Banaran”, entahlah aku tidak tahu sejarahnya. Ku perhatikan saja mahasiswa yang hilir mudik keluar masuk pintu gerbang sambil memainkan pulpen ditanganku dengan nada tidak sabar, “eh, mbak” suara serak membuatku mengangkat kepala dan bersiap melontarkan senyum sambutan. “Mama Citra,,,” aku reflex membalikkan badanku dan hendak menyapanya seperti biasa, namun kata-kataku tertahan. Mata dibalik kacamata itu tertutup mendung pekat mengandung air mata. Wajah manisnya yang biasa menyapaku riang membias lembayung penuh kesedihan. Rambutnya yang biasa lurus dan terurai rapi kini terlihat kusut dan sepertinya tidak terkena sisir selama seminggu. Aku menjadi tidak enak sendiri, senyum pun kutarik perlahan. “eh, mau isi pulsa bu” kataku dengan salah tingkah. Kulihat dengan susah payah ditahannya butir-butir bening yang ingin menerjang kelopak matanya, pun dengan usaha keras dicobanya membentuk satu senyum bersahabat denganku seakan ingin mengatakan bahwa tangisnya bukan karena teriakanku di siang bolong ini.
Maka dengan gerakan perlahan diambilnya buku list customer didepanku, aku hanya diam tanpa kata, hanya mencoba seakan-akan tidak tahu bahwa didepanku ada orang yang sedang menangis, kulihat bibirnya bergetar menahan isak yang tertahan. “kira-kira sehebat apa penderitaan atau mungkin sakit yang dialami oleh Mama Citra” batinku bertanya-tanya sambil duduk diam dan pura-pura sibuk dengan HP ku, juga sekalian menunggu pulsa yang ku isi masuk dalam saldoku. Karena biasanya selama ini aku sering berbincang ringan dan bahkan bercanda dengan Mama Citra kalau sedang isi pulsa, karena hampir tiap hari aku melewati counternya. Counternya terletak di pinggir jalan yang aku lewati menuju kampus, dan kadang-kadang 2 kali seminggu aku dan temanku tetap menyempatkan diri untuk isi pulsa atau hanya sekedar ngobrol riang dengan Mama Citra, mendengarkan dia bercerita tentang keluarganya, juga menyukai caranya membanggakan adik laki-lakinya yang sedang menempuh pendidikan S2  di Bandung, yang menurut dia masih single. Biasanya juga dia tidak pernah bosan menanyakan tentang daerah asalku, yang dia rasa sangat asing. Dia bahkan tidak habis pikir bagaimana bisa aku yang dari NTB sana, yang menurut hemat mereka sungguh begitu jauh merantau di Semarang, perempuan pula, begitulah katanya setiap dia bertanya tentang Lombok. Jadilah kami biasanya bertukar cerita atau sekedar menanyakan makanan khas daerah asalku, oleh-oleh khas Lombok ataupun tempat-tempat wisata yang mengagumkan di NTB.
“Mbak kuliah jam berapa hari ini” katanya tiba-tiba mengagetkanku. Kuangkat kepalaku, kulihat wajahnya sudah lumayan jernih, kayaknya dia sudah mampu menguasai diri dan air matanya pun sudah tidak merembes lagi dipipinya. Kulirik Hello kitty di pergelangan tanganku, jarumnya menunjukkan pukul 12.30, “Sebentar jam satu bu” sahutku kaku (aku sering panggil ibu, kadang-kadang juga Mama Citra, karena kutaksir umurnya sudah sekitar 35 tahunan)”. “mbak nggak terburu-buru kan?” tanyanya lagi dengan logat Jawanya yang kental. “nggak kok buk, masih sekitar 30 menit lagi” jawabku dengan sedikit ragu juga agak heran. Ibu dua anak ini kulihat menghela nafas panjang, mencoba menenangkan dirinya dengan kembali melempar senyum ramah padaku. “mbak pasti heran ya melihatku nangis kayak gini” tanyanya tiba-tiba dengan nada yang lebih mirip keluhan. “eh,,,nggak juga bu” jawabku grogi, dan sejujurnya ingin segera beranjak meminta diri, tepatnya melarikan diri dari situasi yang kurasa tidak nyaman itu. Belum sempat ucapan pamit keluar dari bibirku, tiba-tiba Mama Citra mengeluarkan pertanyaan lagi yang membuatku tertegun. “kira-kira mbak mau sedikit berbagi nasihat nggak sama aku” katanya perlahan. Tentu saja aku tidak tau harus jawab apa, beberapa saat ku diam “wah, gimana ya bu” jawabku ragu-ragu “tapi kalau ibu berkenan, saya siap kok mendengarkan cerita ibu” kataku sedikit berdiplomasi sambil garuk-garuk jilbabku yang tidak gatal, karena terus terang aku paling susah menasehati orang yang lebih tua dariku, wong nasehati diri sendiri saja belum kelar-kelar.      
“Beberapa hari yang lalu temanku memberitahuku kalau suamiku menjalin hubungan khusus dengan seorang gadis, dia pernah melihat suamiku berduaan dengan salah satu mahasiswi semester 3 dikampus ini jurusan seni tari. Sebelumnya aku memang sudah mendengar kalau Papanya Citra punya hubungan khusus dengan seseorang. Tapi aku tidak percaya, meskipun selama ini dia (suaminya) sering berlaku kasar dan bahkan terkadang memukulku, aku tidak pernah terlalu mempermasalahkan. Karena anak-anak sudah besar, aku berfikir kalo aku nggak boleh egois untuk memikirkan diri sendiri dan mengabaikan nasib anak-anakku. Maka dengan besar hati aku mencoba meyakinkan diri, bisa saja ini hanya fitnah atau mungkin saja gadis itu hanya pelanggan suamiku (suaminya mengelola warnet yang juga tidak jauh dari counter mereka). Aku berharap semoga suatu hari dia bisa berubah” tuturnya dengan pandangan nelangsa, matanya kosong memandang jauh kedepan. Aku ternganga, lidahku kelu tak mampu mengucap sepatah katapun. Aku hanya sempat berfikir dan memastikan apakah aku layak mendengar cerita ini. Meskipun dengan pikiran yang bercampur aduk, kembali kuikuti bait-bait katanya yang mengharu biru.  
“Selama ini aku hanya pura-pura tidak tahu dan bahkan sengaja menutup telinga dari isu miring tentang suamiku, juga berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa antara aku dengan suamiku walaupun sikapnya memang terlihat aneh, sedikit-sedikit marah bahkan anaknya pun kerapkali dibentak. Pernah aku bertanya baik-baik tentang isu itu, yang terjadi justru dia menganggapku cemburuan, suka gossip dan tidak memiliki sedikitpun kepercayaan sama suami. Dia bahkan bilang kalau aku posesif, aku hanya tidak ingin pertengkaran kami yang hampir setiap hari terjadi akhir-akhir ini didengar oleh anak-anakku. Makanya aku selalu berusaha ngalah dan akhirnya mencoba berlapang dada atas semua yang kualami. Mungkin Gusti Allah sedang mencoba aku kali ya mbak?“ lanjutnya dengan suara halus dan penuh ketabahan. Untung siang-siang seperti ini jarang pelanggan yang datang beli pulsa, sehingga Mama Citra leluasa bercerita dan akupun tidak terlalu kikuk mendengarkan cerita yang kuanggap sangat privasi tersebut. Sayangnya, aku masih juga belum punya satupun perbendaharaan kata untuk diucapkan. Otakku masih terlalu lelet untuk bisa mengakses masalah-masalah seperti ini dan memproses setidaknya satu kalimat pelipur atau katakanlah sedikit basa-basi agar aku terlihat sedikit punya solidaritas. Jujur aku terenyuh, hanya saja aku tidak terbiasa mendengar keluhan seperti ini, selama ini paling-paling aku dimintai nasehat tentang pacar selingkuh dan aku tanpa tedeng aling-aling biasa mengatakan “putus sajalah”.
Lamunanku buyar ketika Mama Citra kembali melanjutkan curahan hatinya, “Yang membuatku menangis seperti ini karena sudah beberapa hari belakangan Papanya Citra tambah uring-uringan nggak jelas, dia semakin jarang pulang kerumah, dan kalaupun pulang dia tidak pernah makan dirumah bahkan sama sekali tidak pernah menegurku, aku benar-benar dianggapnya tidak ada. Aku hanya prihatin dengan badannya yang semakin kurus dan tidak terurus. Akhirnya dengan keputusan bulat, ketika pagi tadi dia pulang ke rumah dan anak-anakku sudah ke sekolah, aku bilang ke dia, “lamar saja gadis itu kalaupun kau sudah siap”. Tapi dia justru menangis di hadapanku dan mengakui sejujurnya kalau selama ini dia memang menjalin hubungan dengan mahasiswi tersebut, dan yang membuatnya selama ini kurang tidur, tidak mau makan bahkan sampai kurus adalah disebabkan karena mahasiswi tersebut sudah memutuskan Papanya Citra dan tidak mau menemuinya lagi ataupun mengangkat telpon dan bahkan membalas smsnya. Dia terlihat sangat hancur mbak, dia sangat kehilangan gadis itu, itu yang membuatku kasihan dan berfikir bagaimana caranya untuk bisa membuat suamiku setidaknya mau kembali tersenyum untuk anak-anakku, bukan buatku mbak. Dan setidaknya kami bisa menjadi sebuah keluarga yang utuh lagi” katanya dengan getir.  
Kali ini aku benar-benar dibuatnya shock, tanpa sadar kata-kataku meloncat keluar “Ya Allah bu, jadi ibu nangis hanya karena kasihan sama suami ibu?” tanyaku kesel dan gemas sekaligus tidak habis pikir. Bagaimana bisa ada orang seperti ini. Aku memandang lurus-lurus ke mata di balik kacamata tebal itu. Yang kutangkap memang hanya kesungguhan. Hampir saja terlontar ucapan “ibu sudah tidak waras kali ya, harusnya ibu minta cerai saja?”hmm,,,tentu saja tidak boleh” otakku mewarning cepat. Aku menarik nafas panjang. Bingung mau bilang apa, aku mencoba mengecek saldo pulsaku, pulsaku sudah masuk dari tadi ternyata. Akhirnya aku hanya bilang "selain menyediakan saldo pulsa, ibu juga ternyata punya cukup saldo hati” kataku asal. “maksud mbak opo to yo?” Katanya agak bingung. “Yah, kok ibu udah jelas-jelas di khianati kok masih saja ada istilah kasihan untuk suami ibu, tanpa meminta ma’af pun ibu udah memberi ma’af. Ibu luar biasa” (kalo saja aku berani sebenarnya ingin kukatakan “masih saja kasihan sama makhluk semacam suami ibu itu”). “maksudku stok hati ibu banyak, beberapa kali disakiti, ibu bahkan masih memiliki ruang untuk memikirkan nasib suami ibu” lanjutku menerangkan dengan agak emosi. “Begitulah mbak, mau bilang apa lagi. Semoga dia belajar banyak dari apa yang dia lakukan, kok mbak bisa saja ya nyari istilah, pake saldo hati segala” katanya geli tapi penuh harap.“Hmm, ibu sangat luar biasa” pujiku tulus juga kagum.
“Semoga hati suami ibu tergerak untuk menyadari kesalahannya dan bisa melihat bagaimana ketulusan ibu dalam menyayanginya” lanjutku berusaha bijaksana. “itulah mbak, aku akan berusaha menunjukkan sikap terbaikku dihadapan dia, hingga suatu saat Allah membukakan matanya untuk sebuah kebaikan dan sadar untuk kembali seperti dulu lagi” katanya tegar.
 “Amin ya Rabbal alamin, ibu salah meminta nasehat padaku, ibu bahkan sudah tahu apa yang harus ibu lakukan. Aku yang mestinya belajar banyak dan kalau bisa sedikit meminta saldo kekuatan hati sama ibu” jawabku sedikit bercanda. “ah mbak bisa saja, terima kasih sudah mau mendengarkanku” ujarnya ringan. Aku kembali melirik Hello Kitty dipergelangan tanganku, sudah pukul satu kurang lima menit. “aku kayaknya harus berangkat ke kampus ibu, ini sudah mau masuk” aku berpamitan. “iya mbak, matur nuwun sangat ya, jangan kapok mampir” katanya mengiringi langkahku menjauh menuju “Jembatan Cinta Banaran”.
Dikampus, ceramah Prof. Warsono tentang ‘Second Language Acquisition’ mendayu seakan lagu klasik yang begitu saja lewat dialat dengarku. Bersuara, namun tanpa makna apa-apa, hanya semacam dendang asing berbahasa planet yang tak kumengerti artinya. Ini pertama kali lantunan pidato Professor tak menarik perhatianku, biasanya otakku akan sibuk mengikuti jalan pikiran sistematis beliau. Pikiranku melekat dalam bait-bait kekuatan hati, atau mungkin keajaiban hati yang dimiliki oleh Mama Citra. Bagaimana bisa hati yang bersemayam dalam jiwa rapuh dan lemah itu memiliki kekuatan yang begitu dahsyat, kekuatan hati yang mengalahkan sisi-sisi keegoisan dari seorang individu. Inikah sisi lain dari sebuah konsekuensi dan komitmen relasi yang telah diikrarkan? atau mungkin ruang special bagi kekuatan cinta yang teranugerah khusus hanya pada orang-orang yang beruntung, yang membuatku sedikit membandingkan saldo kekuatan hati dan keikhlasan memaafkan yang kumiliki. Menghadirkan pertanyaan sentilan pada diriku pribadi, mampukah sisi egoisitas itu terkikis oleh kekuatan cinta? Harus cinta yang seperti apa? Pasokan cinta yang seberapa banyak yang dimiliki oleh orang-orang seperti Mama Citra? Yang akhirnya membuatnya mampu mengeliminir aturan-aturan logika atau bahkan sisi manusiawi sekalipun. Entahlah, aku belum sampai pada tahap itu, bisikku menghela nafas panjang. Aku kembali dalam suasana kelasku, sesi tanya jawab ternyata sudah mulai berlangsung, aku paksa ekspresiku berpura-pura paham atas diskusi yang berlangsung. “Hm, entahlah” bisikku berulang.

Footnote: Nama tokoh disamarkan.
Irh@