Minggu, 23 September 2012

BAJU BARU

BAJU BARU
Kuhempaskan badanku di ruang TV dengan helaan nafas panjang, ransel bututku ku lempar begitu saja disebelahku. Belum sholat isya, jarum jam sudah menunjukkan pukul 10.00 malam. “Susah juga kalo begini terus selama seminggu ini” bisikku dalam hati. Pagi-pagi sekali harus ke kampus sementara malam harus bangun untuk makan sahur. Bulan puasa, hari ke-10, pesantren ramadhan sudah 3 hari berlangsung, kegiatan yang cukup melelahkan. Menjadi panitia di seksi konsumsi memang susah-susah gampang, mengurus semua subsidi teman-teman panitia lainnya, telat sedikit saja para panitia maupun peserta sudah pada komplain, makanan asin pun seksi konsumsi yang ditegur.
 Apalagi dengan adanya aturan tambahan; semua panitia diharuskan nginap setiap malamnya, supaya tetap bisa mengontrol kegiatan peserta dengan intensif. Namun pengecualian bagi aku, setiap malam aku harus pulang kerumah, tepatnya rumah kakakku. Kakak masih melanjutkan sekolah pascasarjananya diluar kota dan keluarga kecilnya ikut semua, jadi seluruh tanggungjawab rumah dan pengurusannya diserahkan padaku. Maka ketika pesantren ramadhan itu berlangsung, aku tetap memutuskan untuk nginap dirumah, aku tetap nekad pulang dan tidur sendiri di rumah tipe 36 tersebut, meskipun dengan wilayah yang masih sepi dan rawan, serta rumah-rumah tetangga yang masih sangat jarang.  Memang lumayan takut, tapi aku tidak punya pilihan tentunya.
Malam rabu, selesai sahur aku tidak langsung tidur, meski waktu sudah menunjukkan pukul 3.30, karena aku lumayan penyuka sepakbola, aku berencana  menunggu subuh sambil nonton sepakbola. Brazil VS Venezuela sedang berlaga di TV. Wajah keren Kaka dengan aksi-aksinya menghilangkan seluruh kantukku yang tersisa, dengan semangat ku ikuti pertandingan tim Brazil kesayanganku. Ku matikan lampu dan berbaring, volume TV kuturunkan sampai angka 1 karena kupikir, toh aku tidak mengerti apa yang dikatakan komentator bola yang berbahasa inggris tersebut. Aku semakin serius nonton, gol indah dari Roberto Carlos menjadikan skor Brazil sudah 1-0 untuk Venezuela. Dalam hati ku membatin “Carlos bakal tambah keren kalo dia nambah gol lagi”. Belum lama berselang, tendangan sudut untuk Brazil menambah unggul skor 2-0 lewat sundulan kepala si ganteng Kaka, dan tanpa sadar “yes….yes….yes….” aku heboh sendiri.
Belum sempat aku sadar dengan kehebohanku, tiba-tiba bunyi “bruk” yang lumayan keras seperti benda jatuh membuatku kaget setengah mati. Kupikir bunyi ini berasal dari pagar depan, maka dengan sedikit panik aku matikan TV, kemudian berjalan pelan menuju jendela depan dan menyingkap sedikit korden dengan hati-hati. Masya Allah, kulihat ada seseorang sedang mengendap-ngendap dihalaman depan, cahaya lampu dihalaman depan dengan jelas memperlihatkan bayangan orang dengan wajah dan badan yang tertutup sarung seluruhnya, kayaknya orang ini berhasil melompati pagar rumah yang kurang lebih 2 m tersebut, dengan sendirinya badanku gemetaran, lututku lemas. Aku sadar bahwa orang didepan ini pasti maling. Dia ternyata masuk lewat rumah sebelah yang sedang dibangun dan masih penuh aneka kayu dan material bangunan. Akhirnya dengan mudah melompat ke dalam halaman rumah, karena bisa jadi dirumah sebelah mungkin banyak kursi-kursi kayu atau meja yang tidak terpakai untuk dijadikan tanjakan.
Tubuhku gemetar ketakutan, meski dalam hati aku masih sempat berfikir “ne maling kayaknya ga punya ilmu meringankan tubuh deh, kok jatuh bisa keras begitu” berusaha menenangkan diri. Aku memutar otak, kira-kira apa yang bisa kulakukan, berteriak minta tolong kurasa percuma karena rumah-rumah tetangga lumayan jauh, dan lagian “si maling cuma sendirian saja, kayaknya Karate dasar yang kumiliki cukup untuk melumpuhkan si maling, saatnya mempraktekkan kemampuanku” batinku mencoba memberanikan diri. Otakku langsung menduga kalau maling ini pasti akan langsung berusaha masuk lewat jendela kamar depan yang belum sempat dipakaikan terali sejak dulu, kamar kerja kakakku, pasti agak susah membongkar pintu depan yang terbuat dari kayu jati tersebut. Dengan berjingkat-jingkat aku berjalan ke dapur dan mengambil pisau dapur yang biasa dipakai kakakku mengiris sayur, masih dengan hati berdebar-debar. 
Aku kembali berdiri disebelah jendela incaran maling tersebut tanpa bunyi sedikitpun. Aku sudah mulai mendengar grasak-grusuk bunyi jendela dibongkar, hatiku tambah ciut sebenarnya. Dengan sedikit gemetar, kupegang kuat-kuat pisau dapur ditangan. 5 menit berlalu, aku semakin deg-degan saja, sebentar-sebentar kuintip si maling “ne maling kayaknya ga professional, lama banget” gerutuku dalam hati, meski dalam hati berdo’a panjang pendek semoga saja dia tidak berhasil membongkar jendelanya. Menit ketujuh si maling berhasil membongkar jendela, aku beringsut ke sudut gelap samping jendela, dengan hati-hati malingnya mengangkat daun jendela. Aku sudah mulai bisa melihat bayangan si maling karena pantulan cahaya lampu halaman yang cukup terang. Si maling sudah mulai memanjat jendela yang setinggi dada orang dewasa, celana gombrong besar yang menutupi kakinya terlihat masuk pelan-pelan dan kupikir sama sekali tidak gesit layaknya maling professional (aku juga sebenarnya belum pernah lihat maling professional, hanya ekspektasiku terhadap maling yang seharusnya).
Begitu kakinya menginjak lantai kamar, kepalanya langsung menengok satu set computer diatas meja yang berhadapan denganku, otomatis dia membelakangiku dan belum sadar akan keberadaanku, maka dengan gerakan cepat aku langsung berdiri dibelakangnya dan menodongkan pisau dapur yang kupegang tepat dipinggangnya “diam” ancamku dengan suara dalam dan sengaja diberat-beratkan. Golok ditangannya langsung ku rampas dan kupegang dengan tangan kiri serta kuarahkan pada lehernya “lumayan heroic” pikirku sedikit senang. Tak terkira kagetnya si maling, meski belum sempat kulihat ekspresi wajahnya, namun kuyakin si maling lumayan takut, kurasa badannya sedikit bergetar.
Kutebak pasti si maling berfikir kalau aku laki-laki, karena memang aku memakai baju kaos lengan panjang dengan celana sport panjang dan rambutku kukuncir pendek. Dia juga belum sempat melihat wajahku, setelah aku yakin si maling tidak berani berkutik, aku langsung menyalakan lampu kamar tepat disamping kiriku dengan pisau dapur masih dipinggang si maling. “buka kainnya” perintahku dengan suara gemetar, si maling terlihat ragu-ragu juga setengah tidak yakin kalau suara itu suara perempuan. Dengan suara dikejam-kejamkan kubilang padanya “saya tidak main-main dengan pisau ini pak” kataku mengancam, “jadi ikuti saja perintah saya” lanjutku. Si maling ga punya pilihan, dengan pelan dibukanya kain yang menutupi wajahnya.
Dengan tetap waspada sambil menodongkan pisau dan golok, ku melangkah ke depan wajahnya dan betapa kagetnya diriku, “ya Allah, pak Sin” seruku tertahan. Wajah yang sangat familiar bagiku, ini bapak tetangga yang ngontrak BTN dua rumah dari rumah kakakku, bapak ini sering di minta tolong oleh kakakku juga ibu-ibu tetangga lain untuk membersihkan rumput-rumput liar didepan pagar mereka setiap hari minggu. Selama ini bapak tersebut dikenal jujur dan baik, ibu-ibu kompleks sangat senang meminta bantuannya. “pantasan ne orang lamban banget” aku membatin dengan shock.
Si Bapak inipun menunduk dengan wajah pias dan merah. Malu,mungkin juga takut. Setahuku dia memang tidak punya pekerjaan tetap, dengan 4 orang anak yang masih kecil-kecil. Sempat muncul ketidakpercayaanku, karena wajah polos dan teduh bapak ini sangat tidak mungkin melakukan hal-hal jahat seperti ini. Aku mulai menarik tanganku yang memegang pisau dapur dan golok dari badan si bapak, kemudian semua lampu kunyalakan. “ayo pak, ke ruang TV” ajakku, “Bapak ngapain malam-malam gini keluyuran?” tanyaku konyol, sekedar menghilangkan sungkan dan takut diwajah si Bapak yang semakin pucat itu. Si bapak semakin dalam menunduk, dan kayaknya perasaan bersalah semakin menghantuinya.
“Oke, kalau Bapak mau cerita apa adanya, saya akan ma’afin Bapak, saya akan biarin bapak pergi dengan aman dan saya tidak akan ngasih tau siapapun dan juga tidak melapor ke polisi” bujukku tegas. “tapi kalo tidak, saya akan menelpon polsek depan dan akan meminta mereka datang menangkap Bapak” tambahku pura-pura mengancam. “iya nak” jawab si Bapak lemas. Butir-butir bening mulai turun diwajahnya yang tirus. “tapi tolong jangan bilang siapa-siapa ya” matanya memandangku dengan memelas, “siip janji pak, bapak gak usah khawatir” kataku sedikit terenyuh. Ternyata bapak ini lagi bingung nyari uang lebaran buat keluarganya.
Dengan suara pelan yang mengandung nada sedih Si Bapak mulai bercerita, anak-anaknya sudah mulai saling bercerita satu sama lain, berangan-angan dan mengatakan pada ibu mereka kalau nanti lebaran tiba, anak laki-laki sulungnya yang berumur 10 tahun minta dibelikan baju koko yang biasa dipakai teman-temannya ketika jum’atan. Dia mau ikut sholat Id nanti dengan baju koko barunya, sedangkan si anak perempuannya yang kedua berumur 8 tahun, minta dibelikan sepasang sandal yang bergambar Barbie yang sejak dulu dia sering lihat ketika diajak ibunya kepasar tradisional kalau ada ibu-ibu tetangga yang minta tolong buat belanja sayur-mayur. Anak laki-lakinya yang ketiga berumur 6 tahun minta dibelikan baju kaos bergambar Power Rangers yang sejak dulu dia idolakan.
Selama ini anak-anaknya tidak pernah merasakan pakai baju baru layaknya anak-anak lain, tidak ketika tahun ajaran baru ataupun hari raya lebaran. Baju-baju yang mereka pakai selama ini adalah pemberian para tetangga yang bermurah hati atau prihatin atas kehidupan keluarga ini. Aku tidak terlalu tau asal usul keluarga Pak Sin , karena sejak 2 tahun lalu kami mulai tinggal ditempat ini, keluarga pak Sin ini sudah duluan menempati rumah kontrakan BTN tipe 21 yang belum direhab, hanya 1 kamar tidur ukuran 2X3 m, ruang tamu dgn ukuran yang sama dengan lantai semen yang sudah terkelupas sana-sini serta satu kamar mandi sempit. Untunglah karena wilayah ini masih belum diminati karena jauh dari kota, maka harga kontrakanpun masih sangat murah.
Aku terdiam beberapa saat, prihatin sekaligus bingung harus ngapain, “bapak sudah sahur?” tanyaku memecah keheningan. “belum nak, saya pulang sahur dirumah saja” jawabnya tertunduk dalam“jangan, bapak tunggu sebentar” kataku segera beranjak ke dapur. Kebetulan tadi pulang dari kampus aku beli ayam goreng dan sayuran dijalan untuk persiapan sahurku, kurasa masih lumayan untuk porsi satu orang. Maka kukeluarkan nasi beserta lauknya dihadapan si bapak “ayo pak sahur dulu, udah mau imsak lo” kataku ringan sekedar mencairkan kekakuan si bapak “sudah nak, tidak apa-apa, saya jadi tidak enak” jawabnya semakin tertunduk dengan wajah pias. “sudah, tidak apa-apa bapak, tidah usah ga enak begitu, bapak santai saja” jawabku kasihan.
Bapak mulai memandang nasi dengan lauknya, kulihat airmatanya mulai menetes lagi “saya benar-benar minta ma’af nak, saya terpaksa melakukan semua ini. Saya hanya tidak tega mendengar rengekan anak-anak saya, ma’af saya khilaf” katanya lagi penuh emosi. “iya pak, ga apa-apa, asal jangan diulangi lagi bapak ya. Lebaran kan tidak harus pake baju baru. Anak-anak bapak masih bisa dikasih pengertian yang baik tentang lebaran” sahutku polos, kurasa hanya itu kosa kata yang kupunya, aku berfikir keras apa lagi yang harusnya kukatakan. Hm, aku memang belum bisa memberi nasehat selain itu. “ayo bapak, sahur dulu, nanti keburu imsak” lanjutku.
Bapak itu memandangku ragu, “boleh saya bawa pulang makanannya nak? Istriku dirumah mungkin belum sahur” katanya pelan. “Masya Allah, so sweet” pikirku merasa trenyuh juga kagum. “tapi kan makanannya cuma sedikit pak, mungkin tidak cukup untuk berdua” gumanku. “tidak apa-apa nak, segini sudah cukup” katanya. “baiklah pak, tunggu sebentar” ujarku sambil membawa masuk makanan tersebut dan memindahkannya kedalam kantong plastik. Kutambahkan semua nasi yang ada di rice cooker dengan beberapa biji telur bekal yang ditinggalkan kakak buatku. Aku ingat kalau kemarin aku punya honor MC ketika ada acara seminar nasional Geografi sekitar Rp.100.000, aku masih belum memakainya. Maka segera aku masuk kamar dan tanpa pikir mengambil uang tersebut.“bapak, ma’af saya ga bisa bantu banyak, bapak jangan lakuin hal kayak tadi lagi ya?” kataku dengan senyum lega.
Si bapak tersenyum serba salah, malah kupikir senyumnya lebih mirip meringis daripada senyum. Dengan kikuk tangannya terulur mengambil kantong plastik yang kusodorkan. Hati-hati kembali kuberikan uang Rp.100.000 ke arah si bapak “ini sekedar uang untuk tambah-tambah belanja sahurnya ibu”, wajah si bapak kembali memerah, kesedihan dan penyesalan diwajah itu semakin terlihat. “saya ga tau harus bilang apa nak, saya sangat berterima kasih dan sekaligus minta ma’af atas semuanya”. “sudahlah pak, bukan apa-apa kok, cuma makanan doang. Tapi jangan lupa ya pak, besok pagi harus datang memperbaiki jendela saya. Ntar saya dimarahi sama kakak” kataku berusaha mengurangi rasa kikuknya, “nggih, nggih”. Katanya setengah bergegas namun dengan nada sungguh-sungguh.
Ku antar si bapak ke depan gerbang “cepatan bapak, imsaknya tinggal beberapa menit lagi” seruku mengingatkan bapak yang berjalan gontai menuju rumah kontrakannya. Setelah si bapak lumayan jauh, dengan sedikit berlari aku masuk kembali kedalam rumah dan mengunci pintu gerbang serta mencoba mengunci jendela yang tadi dicongkel dengan kawat. “ampun,,,,bagaimana nasib Brazil dan Venezuala tadi” kataku agak panik. Segera aku ke ruang  TV, selebrasi kemenangan Brazil 3-0 atas Venezuala sedang berlangsung. Aku sedikit kecewa, tapi setidaknya team kesayanganku menang, meskipun aku telah melewatkan moment-moment penting saat Brazil menyerang gawang Venezuela. “ups, aku juga kayaknya ga bakal pake baju baru lebaran ini” ujarku pada diri sendiri. “tapi tak apalah, semoga uang yang harusnya buat baju baru tersebut lebih bermanfaat buat si bapak ketimbang kalau aku pakai” do’aku tulus. Azan subuh berkumandan memanggil seluruh umat Islam untuk mengagungkan Sang Pencipta.
Pagi, hari ke-11 puasa, lengking HP Nokia 3315 kesayanganku membangunkan. Hmm, nama “ketua panitia” muncul dilayar hitam-putihku. Pukul 08.00 “God” seruku kaget, tentu saja aku harus segera ke kampus. Aku tidak bisa bayangkan wajah ganteng ketua panitia ‘Pesantren Ramadhan’ bakal berubah jadi singa ketika memelototiku gara-gara keterlambatan ini. Omelan dari teman-teman panitia tentu sudah menungguku, wajah-wajah masam seksi acara yang dari tadi tengah malam mengurus peserta tentu sudah tak bisa kubayangkan. “ah, aku kan hanya seksi konsumsi, tugasku ntar sore kok” bisikku terkantuk-kantuk sambil menekan tombol off di HP ku. Aku kembali pulas.
 End
Irh@