Kamis, 28 Juni 2012

My Beloved One

Mengingatmu adalah memutar kembali setiap memory  yang bisa ku ingat selama aku pernah ada dalam kehadiranmu, kesadaranku dan kebersamanku bersamamu,,, memori yang kutau hanya sebagian kecil dari sisa hidup penuh duka dan suka yang Allah hadiahkan untukku, untuk bisa memelukmu dalam seluruh kesempurnaan hadirmu, untuk semua yang menyayangimu, dan juga untukmu sendiri. Hadiah kehidupan yang begitu indah kau maknai dalam cerita-cerita sahajamu yang penuh inspirasi, insipirasi bagi aku, bagi mereka yang menghargai setiap keutamaan sikap, kejujuran, kesederhanaan, dan satu istilah yang baru aku fahami kini "zuhudmu" akan dunia yang memang tak pernah kau rasa. Inspirasi bagi pribadiku dalam memilih arah hidupku dikemudian hari, meski dalam kesahajaan pribadimu, dalam sedikit bahasa dan tutur yang kau katakan, dalam semua kekurangan2 bernilai "materi" duniawi kita, aku dan diriku serta semua orang2 yang menyayangimu. Dalam diam kutemui ribuan mutiara teruntai ketika beberapa patah katamu kau ucapkan, kesederhanaanmu membuatku mampu terpesona akan wibawa dan karisma yang begitu agung yang memancar dari jiwa rapuh nan ringkihmu. Hingga satu kata darimu mampu membuatku tak akan pernah berani mengangkat wajah menatapmu. Satu teguranmu adalah ribuan nasehat yang terpateri yang mengawal pilihan2 hidupku kemudian.
Kejujuran yang berlandaskan ketakutanmu akan kecintaan pada Sang Pencipta dimana kini kau telah bersemayam, menjadikanku bahkan tak pernah berani bicara kejujuran diri sendiri. Pernah suatu ketika ketika tubuh mungilku masih terus bergayut manja dipangkuanmu, kau menemukan uang 100rp dijalan. Aku memintax dengan merengek, kau usap kepalaku penuh sayang dan kau bilang "ini bukan uang kita nak". Ku dibawanya ke mesjid dan ditunjuknya, "ini yang lebih berhak". Aku hanya manyun tak mengerti, hal kecil yang kupelajari sejak kecil. Membuatku tak berani berspekulasi tentang "kejujuranku" pribadi. Inspirasi pendidikan karakter yang kukenal kini dengan istilah "soft skill" adalah cara sederhanamu mendidik aku dan generasi-generasimu yang lain. Seingatku aku bahkan tak pernah mendengarmu tertawa terbahak-bahak layakx diriku dan orang2 lain kini, senyum simpulmu cukup membuat kami mengerti bahwa kau bersenang hati, marahmu hanya terlihat dari diammu. Apalagi lontaran kata-kata kasar dan cacian, kau haramkan terucap dari lidahmu yang semoga diampuni oleh Allah apabila kau pernah melakukan kekeliruan itu.
Aku bahkan begitu jelas mengingat ketika ada teman-temanku yang berbicara kasar dan tidak sopan dan terdengar olehmu, maka aku dan kakak2ku akan segera ditegur dan diajak naik ke rumah,demikian pula ketika ada tetangga yang berkelahi, maka kami semua wajib mengunci pintu dan tidak boleh dengar apalagi menonton. Waktu itu, otak kecilku sering protes, kenapa aku tidak dibiarkan seperti anak2 lain. Dimana ada keributan, maka semua berlari mendekati, tapi tidak untukku dan kakak2ku.Sering kuberanikan diri meminta kepadamu, kenapa tidak boleh melihat orang berkelahi. Katamu dengan sederhana "tidak ada orang yang berkelahi dengan kata2 yang baik, semua saling mencaci dan mencemooh, Allah tidak memberikan telinga untuk mendengar hal2 seperti itu, demikian pula yang lainnya" sambungmu. Aku malu pada Allah, padamu dan pada diriku sendiri yang sampai sekarang tak pernah bisa sepertimu. Kau tidak pernah mengenal istilah teori pendidikan secara konseptual; behaviorism, naturalism, humanism dll yang kupelajari kini adalah bahasa asing nan aneh ditelingamu. Tapi caramu menyayangiku, mendidikku, menasihatiku adalah kumpulan seluruh teori2 asing itu, setidaknya bagi diriku.Dan itu telah menjadi benang perekat dirimu dalam seluruh kenanganku tentangmu.
Waktu yang akhirnya merubuhkan semua kekuatan raga fanamu, membiarkanmu berbaring dalam raga yang terpasung penyakit, membawaku dalam pertanyaan "keadilan" pada Dia yang mencipta aku dan dirimu, dalam pikiran picikku ku menanyakan "adakah dosa besar yang tak terampuni yang kau lakukan selama hidupmu, hingga begitu tega Sang Maha Kuasa memupus harapan pada sosok kebanggaanku?, tapi dengan tabahmu kau meminta pada-Nya, "aku hanya memohon, semoga Kau memberiku kekuatan untuk bisa sholat berjama'ah dimesjid setiap waktu". Tetes airmata kesalku sering bergulir ketika kulihat jasad ragawi semakin hari semakin lemah. Bahkan kata2 bijakmu sudah terasa sulit kau kasih untukku. Namun harapanmu dan kekuatan hidup dimatamu tetap menatapku tegar, tatap mata penuh do'a itu menuntunku dalam pijak2 mungilku menuju hidup dan pilihan yang kuyakini "benar" setidaknya menurutku, semoga kaupun mengatakan hal yang sama.
Di suatu malam, ketika aku mengadakan sebuah acara bersama teman2ku, dan aku kebagian ceramah waktu itu, aku pulang sekitar pukul 2 malam. Ibuku yang membukakan pintu, kupikir kau sudah tidur, aku melangkah hati2 melewati pembaringanmu. "Khumairah (kau sering memanggilku dengan nama lengkapku), ede caru ceramahmu anae (ceramahmu bagus nak)" katamu mengagetkanku. "oh, belum tidur "sahutku cepat dan bersemangat, "kan sudah malam". "aku sengaja belum tidur, aku menunggu giliranmu berceramah dan mendengarkan" katamu lembut (dan aku memang tidak pernah bisa selembut dirimu). Kebanggaan sering kurasa dalam pujian2mu akan semua yang kulakukan meskipun tak berarti dimata orang lain. Kau sengaja membelikanku hadiah dan diserahkan kepanitia MTQ untuk dihadiahkan kepadaku hanya karena aku bisa hafal surat Al-Falaq waktu aku umur 7 tahun. Dan sering aku berjanji pada diriku bahwa aku akan selalu membuatmu bangga. Namun, itu hanya omong kosong ternyata, sejak SMA aku bahkan tak pernah bisa melakukan hal yang berguna buatmu.Hingga kini, ketika aku ingin kau melihatku menjadi seseorang yang lebih baik dari dulu (lagi-lagi hanya menurutku), semua sudah terlambat, bahkan kau tidak sempat menyaksikan wisuda sarjanaku, ataupun melihat fotoku ketika memakai toga yang disematkan oleh Rektor karena aku wisudawati terbaik.
Meskipun kini aku bisa melakukan 1 hal yang kau minta dan kau nasehatkan padaku setiap kau melihatku berkeliaran dengan baju kaos dan celana pendek. Aku cukup bersyukur sebelum kau menghadap Dzat yang kau cintai, kau telah sempat melihat Khumairahmu berjilbab (walaupun mungkin tidak sempurna dimata Allah). Kini, yang tersisa hanya rekaman memori yang tersimpan abadi dalam kenanganku, semoga do'a yang kukirim selalu untukmu disana diterima dan dikabulkan oleh Dzat Pemilik Jiwamu. Semoga orang2 saleh yang kau cintai selama hidupmu adalah teman2 yang menemanimu di alam sana.
Kenangan bersamamu adalah motivasi bagiku dalam melangkah dan memilih jalan yang baik buatku. Semoga kenanganku akan kebanggaanku padamu tetap hadir menemaniku dan menua bersamaku hingga inspirasi2 yang pernah terpancar dari sosokmu akan terus hidup dalam generasi-generasiku selanjutnya. Meski setiap lebaran tiba, bayangmu masih kuharap ada dan berdiri di mimbar mesjid dan melantunkan khotbah Hari Raya seperti biasanya. Tapi cukuplah semua yang kau berikan padaku, do'aku pada Sang Pengabul Do'a. "Ya Allah, sampaikan pada ayahku, aku meminta ma'af atas sikap dan perilaku ku terhadapnya selama beliau hidup, aku tidak sempat melihat hembusan nafas terakhirnya dan mencium wajah sahajanya untuk terakhir kalinya. Dan apabila selama hidupnya ada kesalahan yang beliau perbuat, maka ampunilah beliau. Tempatkanlah beliau bersama orang2 yang Kau sayangi, bukan dengan orang2 yang Kau murkai. Sampaikan padanya ya Allah, semoga beliau juga mendo'akan Khumairahnya agar bisa menjadi insan harapan-Mu sekarang dan kelak selamanya. Amin, allahumma amin.

Memories of my beloved father
Humaira