KISAH
KEAJAIBAN CINTA
Para Pemain:
Jalaluddin
Ar-Rumi :
Syamsuddin
Tabriz :
Kimya
(anak angkat Rumi) :
Kerra
(isteri Rumi) :
Beberapa
orang murid Rumi :
Hatije
(sahabat kimya) :
Sultan
Walad (putera Rumi) :
PROLOG = cerita tentang
jalan sufi Jalaluddin Ar-Rumi (seorang sufi yang lahir di Balk yang sekarang
dikenal dengan Afghanistan pada tahun 604 H/ 1207 M) dalam mengarungi lautan magfirah menuju
kesejatian cinta, kenangan akan persahabatannya yang “tidak biasa” dengan sang
guru “Syamsudin Tabriz” yang menjadi inspirasi syair-syairnya tentang kerinduan
akan penyatuan dengan ilah. Dan dilematis rumah tangga yang terbangun dalam
“keajaiban” cinta sang “matahari” kepada isteri yang diamanatkan oleh sang
sahabat. Dinamika yang terbangun dalam pesona cinta yang tentatif antara hamba
dengan hamba serta cinta yang eternal antara sang pecinta (makhluk) dengan yang
dicinta (Al-Khalik). Dalam tarian “sema” yang eksotik, yang dipercaya
mampu mengantar sang cinta “darwis” kepada yang dicinta, menaburkan extase
cinta pada Sang Pemilik Kesejatian Cinta.
Makhluk-makhluk
bergerak karena cinta. Yaitu cinta oleh keabadian tanpa permulaan. Sebagaimana
angin menari-nari digerakkan kuasa semesta. Karena itu iapun bisa menggerakkan
pepohonan.
Cerita berawal dari
kedatangan seorang yang bernama “Syamsudin Tabriz” di Konya (tempat kediaman
Jalaluddin Ar-Rumi). Yang mengantarkan Maulana dalam meditasi yang panjang,
yang membuat Maulana larut dalam keasyikan bertemu dengan “Sang Kekasih”, yang
mengakibatkan semua murid Maulana, anak2x dan masyarakat Konya melihatnya tidak
biasa. Dan bahkan banyak murid-murid Maulana yang protes karena ketidakhadiran
sang guru yang begitu lama dan hanya oleh karena seorang “Syams”.
Jalaluddin dan
Sahabatnya mengasingkan diri dalam meditasi yang berminggu-minggu, tanpa makan,
minum dan segala bentuk interaksi sosial.
Kerra : (selalu
menyediakan makan, minum, pakaian untuk ganti di depan kamar tempat suaminya
berkhalwat dengan Syam), "sudah dua minggu Maulana mengasingkan diri, tak
makan dan minum, siapa sesungguhnya lelaki itu, yang telah begitu jauh
mempengaruhi suamiku (bicara sendiri)”.
Selang beberapa menit kemudian. Keluarlah Rumi dengan
Syams dari dalam kamar, dengan garis mata yang dalam menandakan kurang tidur,
wajah yang kurus, lingkaran hitam di matanya begitu kontras dengan wajah yang
pucat, Rumi menemui isterinya. Di belakangnya berjalan Syams seangkuh matahari.
Rumi : (sejurus
memandang pada Kerra, kemudian menunduk dan akhirnya tersenyum pada isterinya).
Kerra : (memperhatikan
suaminya lantas menunduk) “kau bahagia rupanya”.
Rumi : (menggeser dan
mengenalkan sahabatnya) “ini Syamsuddin, sahabat karib jiwaku”. (terdiam sesaat
dan berkata dengan perlahan) “kau harus memperlakukannya sebagai hal paling
berharga dari diriku”.
Kerra terdiam dalam sunyi, dan mereka berdua
meninggalkan Kerra dalam diam. Selang beberapa lama tiba-tiba masuk Kimya
dengan berlari-lari.
Kimya :
(Terengah-engah) “Maulana dan sahabatnya telah selesai berkhalwat. Mereka ada
disini, aku melihat mereka memasuki ruang belajar”.
Kerra : (menghela
nafas, mengangguk) “aku tahu. Setidaknya mereka telah menampakkan diri dan aku
bahagia. Tetapi Kimya……..(ragu-ragu), aku juga takut” (dengan tubuh yang
menggigil).
Kimya : (khawatir dan
meletakkan selendangnya pada leher Kerra) “itukah Syam?”
Kerra : (mencoba
tenang, mengangguk) “aku tak tau apa yang terjadi pada diriku. Jangan dengarkan
aku Kimya, aku hanya cemas. Sepertinya mereka tidak memperhatikan kesehatan
mereka”. (mendesah) “ mereka yang pergi terlalu jauh, akan kehilangan
pijakannya di bumi ini”.
Sang Maulana dan Sahabatx bagaikan tak terpisahkan
lagi, selalu berdua. Sudah beberapa waktu sang Maulana tidak mengajar lagi,
hingga para muridnya pun menemui putra pertama Maulana (sultan Walad).
Murid2 :”Katakan pada
ayahmu, tanpa cahaya pengajarannya, hidup ini rasanya tak tertahankan membebani
kami. Katakan kepadanya, tanpa kebijakannya, kami bagaikan orang buta yang
tersandung di kegelapan.”
Sultan Walad : “aku
juga jarang melihat ayahku belakangan ini, dan kalaupun aku menemuinya, hanya
sebentar untuk menengok keadaannya dengan Syams.
Murid2 :”Maulana sudah
berubah, beliau sekarang hanya memperhatikan Syam dari Tabriz itu, seolah-olah
dia adalah segalanya, beliau sudah tidak pernah ceramah, apalagi ke madrasah.
Bahkan mengajar ngaji seperti dulu sama sekali tidak pernah beliau hiraukan
lagi. Syam yang angkuh itu benar-benar menjauhkan kami dari Maulana.
Sultan Walad
:”bagaimana kukatakan pada kalian dan bagaimana kujelaskan makna yang tercipta
dalam setiap sunyi yang hadir di kedamaian jalan menuju Maghfirah-Nya.”
Murid2 :”apakah
Maghfirah yang kau katakan itu, lihatlah Maulana sekarang, beliau seolah-olah
tidak berada di dunia, dengan tubuh kurus yang tak terurus, terkadang tertawa
sendiri seperti orang gila, kemudian menangis meraung-raung tanpa sebab, bahkan
yang lebih parah Maulana nenari-nari dijalan yang ramai seperti orang yang
tidak sadar akan dirinya, hingga di soraki orang gila oleh anak-anak dijalan,
ini semua karena Syams pengacau itu, dia telah menjauhkan Maulana dari Allah,
dia tukang bid’ah, dia telah menghilangkan wibawa dan karisma Maulana kita.
Sultan Walad hanya terdiam tak mampu menjelaskan apapun
pada murid-murid sang ayah, demikian pula dengan Kerra (sang instri Maulana)
dan Kimya (puteri angkat Maulana), mengalami pergolakan batin yang hebat dengan
sikap Maulana.
Kimya :”(termenung,
duduk dengan tatapan yang menerawang)
Datanglah sahabatnya Hatije. Mendekat dan duduk di
sisi Kimya.
Hatije :” Kimya, kau
sedih?” (memandang dengan simpati)
Kimya :”aku tidak
sedih, tidak seperti itu”
Hatije :“lantas kenapa,
sekarang kau jarang bercerita dan selalu termenung”.
Kimya :”aku mencoba
menangkap sesuatu, seperti mencoba menarik sehelai benang supaya melewati
lubang jarum yang sangat kecil, kau harus penuh perhatian, bergeming dan
berkonsentrasi penuh. Sa’at kita hendak menarik benang agar melewati jarum,
pikiran kita tak boleh teralihkan, kau tak ingin pikiranmu teralihkan.
Hatije : (mencoba
bersungguh-sungguh dan memahami)”mungkin aku mengerti”(berkata sambil tersenyum
lebar).
Kimya : “ tapi kau
tahu, aku tak ingin pikiranku teralihkan, hal itu begitu kuat. Itulah yang
telah lama kunanti.
Hatije :”apa yang
terlalu kuat itu, apa yang kau nanti, dan apa yang ingin kau tangkap?, apakah
menyangkut sahabat Maulana, Syams itukah yang mengalihkan pikiranmu?”
Kimya : (menghela
napas)”sesuatu yang ada dalam diriku, aku tak tau bagaimana cara menjelaskannya
padamu. Rasanya seperti sesuatu memanggilku sekaligus menjawabku pada waktu
yang bersamaan. (terdiam beberapa saat), tadi malam aku bermimpi, ketika aku
duduk di depan kamarku, seseorang yang aku yakin itu adalah Syams,
mendatangiku, ketika aku melihat matanya yang kelam menusuk, hatiku bergemuruh
seperti badai, menghancurkan semua ketenangan yang kumiliki, namun sebelum
sempat ku ucap apa-apa, mata hitam itu menghilang, dan kuhanya dengar satu
ucapan, ‘Syam berada disini untukmu, hari ini dia telah menyingkap tabirnya,
perjalanan menuju asal telah dimulai”.
Hatije : (terdiam
sambil memandang Kimya terpengarah).oh…..oh…
Kimya :”tapi sudahlah,
aku tak mengerti dan kaupun tak akan mengerti.” (kembali diam dan termenung).
Beberapa
saat
Hatije :”aku sangat
berharap untuk mengerti, tapi aku pulang dulu. Lain kali kita bercerita.”
Kimya :”terima kasih
Hatije, aku menyayangimu”
Sesaat lamanya Kimya termenung sendiri, tanpa
menyadari bahwa seseorang telah hadir disisinya.
Syams :”(berjalan
kearah Kimya dengan perlahan) “bolehkah aku duduk disampingmu?” (bertanya
dengan suara yang begitu lembut).
Kimya :” (mendongak
kaget, kemudian perlahan mengangguk).
Syams : “(duduk agak
menjauh dari Kimya, menunduk dan hening)
Kimya :” (mencoba
memecahkan kesunyian dan bertanya) “apakah kota Tabriz sama dengan Konya?”
Syams : (mengangkat
kepala)“Tabriz adalah kota dengan masjid-masjid yang membiru dan lelangit yang
cerah. Sedangkan Konya adalah kota cahaya. (sejenak diam). Mawar-mawar kota
Tabriz kecil dan berwarna kuning pucat dan hatinya berdarah. Belum ada mawar
seperti itu di Konya. Tetapi suatu hari nanti, mawar seperti itu akan tumbuh
dan berkembang……………. Ada banyak perempatan jalan tempat jiwa-jiwa suci bangkit
di malam hari. Mereka berkumpul dalam sebuah kelompok seperti merpati-merpati
merah dan hijau, kemudian mereka terbang ke Mekkah dan bertawaf memutari
ka’bah.
Kimya :(menatap Syams
bingung dan gemetar serta dengan tanda Tanya).
Syams :”(tersenyum
tipis dan balik memandang pada Kimya) “ada banyak orang di Tabriz, jika
dibandingkan, aku bukanlah apa2. (kemudian bangkit) “ingatlan mawar-mawar
Tabriz, mereka dekat dengan Allah, hanya hati yang berdarah yang bisa
menemukan-Nya…..“tapi terkadang, manusia melupakannya. Ketika mereka terpanggil
dan hati mereka dibuat berdarah, mereka malah mengeluh, bukannya bersyukur.
(menatap Kimya dengan tajam) “tetapi kau Kimya, kau tidak akan lupa.” (sebelum
Kimya menjawab apapun, Syams telah melangkah pergi begitu saja meninggalkannya
dalam kebingungan).
Setelah setahun kemudian, tiba2 Syamsudin At- Tabriz
menghilang secara misterius semisterius kehadirannya di Konya, Rumi mencari
kemana-mana, dengan segala cara dicarinya informasi keberadaan Syam, hingga
karena keputusasaanya, meluncurlah syair-syair kerinduannya akan sang sahabat,
yang tertuang dalam Diwan-I-Syams-I Tabriz.
Biarkan aku bercerita
tentang keajaiban-keajaiban Dikau, oh Cinta!
Ijinkan aku membuka
pintu Ghoib bagi makhluk, dengan ucapan.
Wajahmu bak mentari,
wahai Syamsuddin
Yang dengannya hati
berkelana bagai cawan!
Engkaulah mentari, kami
hanyalah embun
Kau bimbing kami ke
tempat tertinggi.
Karena aku hamba sang
mentari
Maka aku hanya kan
berbicara dengan mentari.
Namun, tiba-tiba muncul
kecemburuan dari Tuhan
Dan mulut-mulut menjadi
kasak-kusuk
Aku adalah Zahid yang
pandai, orang yang berjuang.
Kawanku, katakan kenapa
kau terbang seperti burung.
Aku menulis seratus
surat, aku meniti seribu jalan.
Tampaknya kau tak baca
selembar suratpun
Tampaknya kau tak
ketahui satu jalanpun
Bila orang itu
mengatakan “aku telah melihat Syams!”
Maka tanyakanlah, kemanakah
jalan menuju Surga?
Sekian lamanya, Maulana diselimuti
kerinduan dan kesendirian, meskipun seluruh masyarakat Konya bersorak atas
kepergian Syams, namun Sultan Walad sang anak sulung merasa tidak tega melihat
kesedihan yang nampak pada Maulana, maka
dengan segenap usaha dicarinya Syams diseluruh tempat hingga ia menemuknnya di
Syuriah dan membawanya kembali ke Konya disisi sang Maulana. Sekembalinya Syams
di Konya, ia akhirnya dinikahkan oleh Sang Maulana dengan Kimya (anak angkat
Maulana).
Kimya
; (termenung)
Hatije
: (datang mendekat) “tidakkah kau takut pada Syams? Sudahkah kau pertimbangkan
keinginanmu menikah dengannya? Dia bukan orang yang mudah, kita bahkan tidak
tau dia darimana, dan dia tidak pernah terlihat melakukan apapun selain, ah…. Kimya,
tolong pikirkan lagi.
Kimya
: “aku hanya mengikuti apa yang sudah tertulis”
Hatije
: (menatapnya) “jadi, sebenarnya itu bukan keputusanmu?”
Kimya
: (menggeleng) “tidak, sama sekali tidak. Ini keputusanku sendiri, walaupun aku
tau kita bisa saja menolak apa yang ditawarkan pada kita. Tetapi satu hal yang
pasti bahwa kita tidak tau apakah itu sudah tertulis untuk kita atau tidak.
Hatije
: “apakah kau bahagia?”
Kimya
: (kaget)“aku tak tau, apakah kebahagiaan adalah satu-satunya alat pengukur
kehidupan seseorang. Dan kebahagiaan itu takkan pernah terukur.
Hatije
: (menatap cemas bercampur kekhawatiran)
Kimya
: (bangkit) “Hatije, kau jangan cemas. Kau bertanya apakah aku takut. Tapi
dilanda perasaan takut atau sedih bukan berarti menandakan seseorang sudah
membuat kesalahan. Perasaan itu hinggap karena seseorang tidak benar-benar
menyimak dan mendengarkan nuraninya.”
Hatije
:”oh Kimya, kau membuatku sedih” (mulai menangis). “aku tidak mengerti satupun
kata-kata yang kau ucapkan. Kadang aku berfikir bahwa kau tidak tau apapun
tentang hidup. Tapi kadang aku malah berfikir kalau sebaliknya akulah yang
tidak faham tentang hidup dan tak mengerti apapun”
Kimya
:”sudahlah, kita berdua memang belum tau apa2. Masih banyak yang perlu kita
pelajari. Aku menyayangimu. Terima kasih Hatije.
Hatije
: ”aku berharap kau bahagia.” (berpelukan).
Akhirnya Syams dan Kimya menikah.
Dimalam pertama pernikahan antara Syams dan Kimya. Dalam kegelapan malam yang
hanya diterangi cahaya lilin. Keduanya berdiri dalam diam.
Syams
: (memandang Kimya) “kau tentunya lelah. Masuklah ke kamarmu, tidurlah dalam
damai, dan ingat bahwa Dia disini bersamamu, selamanya.”
(menyerahkan
lilin pada Kimya kemudian melangkah pergi menuju kamarnya meninggalkan Kimya
dalam sendiri).
Paginya,
Kimya menyiapkan segelah teh untuk sang suami.
Kimya
: (melangkah sambil membawa teh, berjalan pelan2, kemudian menuangkan teh
perlahan dengan agak gemetar).
Syams
: (tersenyum memandang Kimya) ”Kimya, mengapa kau cemas? Mengapa kau takut? Aku
tau begitu berat menjejakkan kaki diatas tanah ini sementara hatimu menatap ke
surga. Tetapi, ini rahasia (diam sejenak), rahasianya adalah bumi ini dan surga
tidaklah terpisah”. (mengambil gelas teh dan meminumnya). “sama sekali tidak
terpisah” (dia mengulangnya).
Kimya:
(berdiri tanpa tau apa yang dikatakan, memandang ke suaminya dengan bingung).
Syams
: (bangkit berdiri) “aku harus pergi sekarang” (melangkah meninggalkan
isterinya begitu saja).
Kimya
: (hanya memandang kepergian sang suami).
Kimya
: (merenung dan berbicara pada diri sendiri) “hidup seperti apa yang kualami
ini, Syams adalah manusia seangkuh matahari, aku bahkan tidak mengerti apa pun
tentang dia, untuk apa dia ada disini, dan kenapa dia memilihku? ”.
Malam pun larut, (suara
langkah Syams terdengar memasuki rumah, dengan cepat Kimya pergi menyambut).
Namun……
Syams
: ”jangan mengganggu. Pergilah tidur, ini sudah larut malam”.
Kehidupan keduanya berjalan “tak biasa”
bagi orang-orang biasa, Syams pergi pagi dan pulang malam, sangat jarang terjadi
percakapan bahkan interaksi antara keduanya, pagi2 Kimya hanya menyediakan teh,
dan sampai malam menunggu “sang matahari” pulang ke haribaan malam. Beberapa
minggu berlalu, Kimya tinggal dengan semua tanda Tanya dan kegundahan dalam
hatinya. Dia tak pernah keluar rumah, tak pernah lagi bersenda gurau dengan
kawan2nya. Hingga suatu hari datanglah Hatije sahabatnya.
Hatije
: “Kimya, kau tau orang-orang diluar sana membicarakanmu, kau tidak pernah
keluar rumah. Semua orang mengatakan kamu adalah perempuan yang malang, Syams
tidak mengizinkanmu keluar rumah karena dia cemburuan”.
Kimya
: (terdiam)
Hatije
: “katakan sesuatu Kimya, kau tidak bahagia kan? Dan semua orang bilang Syams
tidak pernah ke mesjid, juga dia pernah minum anggur. Apakah itu benar?”
Kimya
: (mengangkat wajah dengan marah) “semua itu tidak benar, orang-orang tidak tau
bagaimana sosok Syams seutuhnya, dan kamu harus ingat, meskipun kamu temanku,
Syams adalah suamiku”.
Hatije
: “maafkan aku Kimya (dengan wajah penuh penyesalan), aku hanya khawatir
denganmu. Berbahagialah. (melangkah keluar meninggalkan Kimya sendiri).
Kimya
: (termenung)” kehidupan seperti apa yang kini kujalani, bersamanya aku seperti
menghadapi ketidakpastian, aku sadar akan hal itu, tapi kenapa aku begitu terpengaruh
dengan semua keangkuhannya, otoritasnya, bahkan ketidakperduliannya padaku.
Masuklah
Kerra
Kerra
: “Kimya, kau terlihat pucat, kau tidak memperhatikan kesehatanmu”
Kimya
: (diam tertunduk)
Kerra
: (memandang Kimya prihatin) “ada sa’atnya, manakala do’a yang paling kering
sekalipun justru yang paling didengar Allah. Lantas Dia dengan sifat Rahman-Nya
membuat hatimu meronta, betapa kau kehilangan-Nya, merindukan-Nya”. (meraih tangan Kimya, memegangnya
seakan memberi kekuatan)
Kimya
: (tertunduk menangis). “aku tak bisa berdo’a, hatiku terluka sedemikian dalam,
aku…aku tak tau bagaimana menghentikan kepedihan ini”.
Kerra
: “kau memang tak bisa menghentikannya, ketika hatimu terluka, hanya ada tiga
aturan main; jangan mengenyahkan kepedihan itu, jangan pernah mencoba untuk
mengerti dan jangan tenggelam dalam kepedihan itu. Buatlah dirimu berserah diri
seperti sebatang pohon muda yang terperangkap dalam badai, biarkan badai itu
menghantammu. Jangan pernah menentangnya dan jangan pula membantah
keberadaannya. Bagaimana mungkin kita menafikkan angin dan hujan? Dan jangan
pernah menyesalinya”.
Kerra
keluar, pada malam harinya, dengan nyala lilin Kimya bersujud panjang kemudian
berdo’a.
Kimya
: “Ya Allah, janganlah abaikan hamba-Mu ini. Dan sungguh apa yang kulakukan
selain berserah diri kepada-Mu? Aku tau jalan yang ditempuh Syams melampaui
pemahamanku, dan kepedihanku terlalu menyakitkan untuk dipikirkan, maka
jadikanlah aku sebatang pohon yang terperangkap badai, hingga badai itu kan berlalu”.
Tiba2
datanglah setitik lilin dan langkah Syams masuk ke kamarnya.
Syams
: (berlutut dihadapan Kimya, memegang bahunya) “Kimya, Kimya, tataplah aku”.
Kimya
: (balik menatap Syams dan kemudian bersujud di lutut Syams sambil menangis)
Syams
: “kau tidak usah takut sayang, tak ada yang perlu kau takutkan, cinta tiada
berakhir, cinta adalah lautan tak bertepi, kau harus belajar menanggung
penderitaannya”.
Kimya
: (bangun, dan memandang Syams penuh Tanya) “aku tak mengerti?”
Syams
: “jangan, jangan pernah mencoba untuk mengerti, ini adalah sebuah anugerah.
Tubuh telah mengenal sang jiwa dan jiwa telah mengenal sang tubuh, dan
selama-lamanya akan ada dalam keabadian. Kini, engkau lenyap dalam Wujud.
(Syams memandangnya dan Kimya tengadah sambil menangis) cara Tuhan mengajari
kita mengenal-Nya memang tak terbatas, Hanya Dia. Cinta yang kau rasakan hanya
Untuk-Nya, aku hanyalah pelayan-Nya, jangan pernah lupakan itu Kimya.
Kimya
: (memandang dengan panic) “apakah cintaku padamu salah?, apakah kecintaanku
padamu merupakan semacam penghinaan pada Tuhan?”
Syams
: “kau harus hati2 sayang, kau harus hati2 dan tidak keliru dengan membaurkan
cintamu padaku dan cintamu pada Allah, cinta tak lain adalah aliran napas Tuhan
yang selalu menyertai napasmu”.
Kimya
: “bagaimana bisa kau begitu kejam, aku menyerahkan seluruh jiwaku pada cinta
yang hanya untukmu secara kemanusiaanku” (menangis).
Syams
: (menghapus air mata Kimya dengan lembut) “berhentilah meratap, hikmah dari
Allah datang sebebas burung dan begitu juga jiwamu. Do’amu akan terkabul,
tidurlah, waktumu tinggal sebentar lagi, sangat singkat.”
Syams
: (bangkit meninggalkan Kimya dalam sendiri).
Sejak sa’at itu, Kimya larut dalam
kebersamaannya dengan Sang Pemilik Cinta sejati, Kimya larut dalam rasa cinta
yang ganjil yang dihadirkan Syams padanya, tak ada lagi hasrat akan nilai-nilai
keduniawian, yang ada hanyalah keindahan abadi dalam jiwa yang menyatu dengan
napas sang Pencipta. Hingga beberapa sa’at kemudian, tubuh jasmani Kimya
semakin lemah dalam kekuatan jiwa rohaninya. Hingga puncaknya, suatu hari
ketika dia keluar bersama sahabatnya Hatije, Kimya jatuh karena lemahnya.
Hatije
: (kaget melihat Kimya jatuh, kemudian memangkunya) “kamu kenapa Kimya, kau
sakit, kamu harus jujur padaku, selama ini kamu tidak bahagia kan?” (memandang
Kimya cemas)
Kimya
: “bahagia? Aku tidak bahagia, tapi aku…aku merasa hidup. Hidup yang lebih
hidup daripada yang pernah kurasakan sebelumnya, apa yang dulu kunikmati, kini
tak lagi menarik minatku. Aku tau, kadang-kadang terasa menyakitkan, tapi
bagiku rasa itu begitu agung, setiap embusan napas adalah sebuah kehidupan
seutuhnya, sebuah keabadian.
Hatije
: “matamu begitu bercahaya (memandang Kimya cemas) tapi mengapa aku tak pernah
memahamimu?”
Kimya
: “tak apa Hatije, kita memang berbeda. Itu saja, semua berjalan sesuai
kehendak Tuhan. (terdiam sesaat dan menghela napas) bagaimana aku meyakinkanmu
bahwa Syams sesungguhnya orang yang baik’.
Hatije
:”tahukah kau bahwa sekarang orang-orang semakin marah pada Syams daripada
dulu, mereka mengatakan bahwa Syams telah menenung Maulana dan menjerumuskanmu
pada penderitaan. Dan aku yakin, Syams berada dalam bahaya sekarang.”
Kimya
: “Syams adalah tuan dari takdirnya sendiri, dia sebebas angin berhembus”
(tubuhnya semakin lemah).
Hatije
: (panic, memanggi-manggil Kimya) Kimya…..Kimya”
Semua
orang masuk (Syams, Kerra, Maulana Jalaluddin Ar-Rumi, dan Sultan Walad)
Kerra
: “Kimya, ada apa denganmu?.
Kimya
: (dengan suara lemah) “tidakkah kau lihat, aku akan pergi kemanapun yang
kuinginkan” (memandangi suaminya “Syams” menyentuhnya lembut penuh cinta
kemudian memejamkan mata untuk selamanya).
Serempak
mengucapkan “innalillahi wainna ilaihi raji”un”.
Narasi
Cinta,
Kaulah setiap nada dan kaulah sang
music
Kaulah sang lilin dan kau sang api
Kaulah kegembiraan dan kau jualah
pancaran cahaya
Kaulah cinta dan kau bukan APA-APA.
Cinta itu samudera yang gelombangnya
tak terlihat
Air samudera itu api, sedangkan
ombaknya adalah mutiara.
Karena cintalah, semua rasa pahit
akan jadi manis
Karena cintalah yang merubah tembaga
menjadi emas
Lewat cintalah semua endapan berubah
jadi anggur murni
Lewat cintalah, kesedihan akan jadi
obat
Karena cintalah, si mati menjadi
hidup
Karena cinta, raja bisa menjadi
budak.
Setelah
kematian Kimya, Syams pun kembali menghilang dari Konya dan ini untuk
selamanya. Sang Maulana Jalaluddin Ar-Rumi kembali mencari sang sahabat namun
tak pernah menemukannya.
Lihatlah, aku telah banyak
mencoba,
Dan mencari dimana-mana
Tetapi tak pernah ku temukan sahabat
seperti dirimu.
Aku telah mencoba setiap pancuran,
setiap butir anggur
Namun, tak kurasa keindahannya kala
bertemu denganmu”
Disadur dari novel : KIMYa Sang Puteri Rumi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar