Memory of Nov,
21st 2012
“Pulsa……”
seruku dengan nada agak tinggi, sudah hampir 3 kali aku memanggil-manggil
pemilik counter langgananku. Counter yang sekaligus rumah tinggal itu masih
terlihat sunyi, hanya pintu yang menghubungkan counter dengan rumah didalamnya
yang terlihat terbuka. Membuatku yakin bahwa pemilik counter ada dalam
rumahnya. Belum juga terdengar sahutan, apalagi seseorang atau setidaknya
sepotong makhluk hidup muncul. “Citra…” teriakku
lumayan nyaring, juga untuk panggilan kesekian kalinya. Aku sudah terlanjur
menulis nomor HP ku di buku list isi pulsa seperti biasanya, sehingga mau tidak
mau aku harus menunggu sang pemilik counter. Beberapa menit berlalu, aku duduk
di kursi pelanggan menghadap ke pintu
kecil gerbang kampus yang kurasa lebih mirip gang tikus. Sering aku dengar
anak-anak kampus menyebutnya dengan “Jembatan
Cinta Banaran”, entahlah aku tidak tahu sejarahnya. Ku perhatikan saja
mahasiswa yang hilir mudik keluar masuk pintu gerbang sambil memainkan pulpen
ditanganku dengan nada tidak sabar, “eh,
mbak” suara serak membuatku mengangkat kepala dan bersiap melontarkan
senyum sambutan. “Mama Citra,,,” aku
reflex membalikkan badanku dan hendak menyapanya seperti biasa, namun kata-kataku
tertahan. Mata dibalik kacamata itu tertutup mendung pekat mengandung air mata.
Wajah manisnya yang biasa menyapaku riang membias lembayung penuh kesedihan. Rambutnya
yang biasa lurus dan terurai rapi kini terlihat kusut dan sepertinya tidak
terkena sisir selama seminggu. Aku menjadi tidak enak sendiri, senyum pun
kutarik perlahan. “eh, mau isi pulsa bu”
kataku dengan salah tingkah. Kulihat dengan susah payah ditahannya butir-butir
bening yang ingin menerjang kelopak matanya, pun dengan usaha keras dicobanya
membentuk satu senyum bersahabat denganku seakan ingin mengatakan bahwa
tangisnya bukan karena teriakanku di siang bolong ini.
Maka
dengan gerakan perlahan diambilnya buku list customer didepanku, aku hanya diam
tanpa kata, hanya mencoba seakan-akan tidak tahu bahwa didepanku ada orang yang
sedang menangis, kulihat bibirnya bergetar menahan isak yang tertahan. “kira-kira sehebat apa penderitaan atau
mungkin sakit yang dialami oleh Mama Citra” batinku bertanya-tanya sambil
duduk diam dan pura-pura sibuk dengan HP ku, juga sekalian menunggu pulsa yang
ku isi masuk dalam saldoku. Karena biasanya selama ini aku sering berbincang
ringan dan bahkan bercanda dengan Mama Citra kalau sedang isi pulsa, karena
hampir tiap hari aku melewati counternya. Counternya terletak di pinggir jalan
yang aku lewati menuju kampus, dan kadang-kadang 2 kali seminggu aku dan
temanku tetap menyempatkan diri untuk isi pulsa atau hanya sekedar ngobrol
riang dengan Mama Citra, mendengarkan dia bercerita tentang keluarganya, juga
menyukai caranya membanggakan adik laki-lakinya yang sedang menempuh pendidikan
S2 di Bandung, yang menurut dia masih
single. Biasanya juga dia tidak pernah bosan menanyakan tentang daerah asalku,
yang dia rasa sangat asing. Dia bahkan tidak habis pikir bagaimana bisa aku
yang dari NTB sana, yang menurut hemat mereka sungguh begitu jauh merantau di Semarang,
perempuan pula, begitulah katanya setiap dia bertanya tentang Lombok. Jadilah
kami biasanya bertukar cerita atau sekedar menanyakan makanan khas daerah
asalku, oleh-oleh khas Lombok ataupun tempat-tempat wisata yang mengagumkan di
NTB.
“Mbak kuliah jam berapa hari ini”
katanya tiba-tiba mengagetkanku. Kuangkat kepalaku, kulihat wajahnya sudah
lumayan jernih, kayaknya dia sudah mampu menguasai diri dan air matanya pun
sudah tidak merembes lagi dipipinya. Kulirik Hello kitty di pergelangan
tanganku, jarumnya menunjukkan pukul 12.30, “Sebentar jam satu bu” sahutku
kaku (aku sering panggil ibu, kadang-kadang juga Mama Citra, karena kutaksir
umurnya sudah sekitar 35 tahunan)”. “mbak
nggak terburu-buru kan?” tanyanya lagi dengan logat Jawanya yang kental. “nggak kok buk, masih sekitar 30 menit lagi”
jawabku dengan sedikit ragu juga agak heran. Ibu dua anak ini kulihat menghela
nafas panjang, mencoba menenangkan dirinya dengan kembali melempar senyum ramah
padaku. “mbak pasti heran ya melihatku
nangis kayak gini” tanyanya tiba-tiba dengan nada yang lebih mirip keluhan.
“eh,,,nggak juga bu” jawabku grogi,
dan sejujurnya ingin segera beranjak meminta diri, tepatnya melarikan diri dari
situasi yang kurasa tidak nyaman itu. Belum sempat ucapan pamit keluar dari
bibirku, tiba-tiba Mama Citra mengeluarkan pertanyaan lagi yang membuatku tertegun.
“kira-kira mbak mau sedikit berbagi
nasihat nggak sama aku” katanya perlahan. Tentu saja aku tidak tau harus
jawab apa, beberapa saat ku diam “wah,
gimana ya bu” jawabku ragu-ragu “tapi
kalau ibu berkenan, saya siap kok mendengarkan cerita ibu” kataku sedikit
berdiplomasi sambil garuk-garuk jilbabku yang tidak gatal, karena terus terang
aku paling susah menasehati orang yang lebih tua dariku, wong nasehati diri
sendiri saja belum kelar-kelar.
“Beberapa hari yang lalu temanku
memberitahuku kalau suamiku menjalin hubungan khusus dengan seorang gadis, dia pernah
melihat suamiku berduaan dengan salah satu mahasiswi semester 3 dikampus ini
jurusan seni tari. Sebelumnya aku memang sudah mendengar kalau Papanya Citra punya
hubungan khusus dengan seseorang. Tapi aku tidak percaya, meskipun selama ini
dia (suaminya) sering berlaku kasar dan bahkan terkadang memukulku, aku tidak
pernah terlalu mempermasalahkan. Karena anak-anak sudah besar, aku berfikir
kalo aku nggak boleh egois untuk memikirkan diri sendiri dan mengabaikan nasib
anak-anakku. Maka dengan besar hati aku mencoba meyakinkan diri, bisa saja ini
hanya fitnah atau mungkin saja gadis itu hanya pelanggan suamiku (suaminya
mengelola warnet yang juga tidak jauh dari counter mereka). Aku berharap semoga
suatu hari dia bisa berubah” tuturnya dengan pandangan
nelangsa, matanya kosong memandang jauh kedepan. Aku ternganga, lidahku kelu
tak mampu mengucap sepatah katapun. Aku hanya sempat berfikir dan memastikan
apakah aku layak mendengar cerita ini. Meskipun dengan pikiran yang bercampur
aduk, kembali kuikuti bait-bait katanya yang mengharu biru.
“Selama ini aku hanya pura-pura
tidak tahu dan bahkan sengaja menutup telinga dari isu miring tentang suamiku,
juga berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa antara aku dengan suamiku
walaupun sikapnya memang terlihat aneh, sedikit-sedikit marah bahkan anaknya
pun kerapkali dibentak. Pernah aku bertanya baik-baik tentang isu itu, yang
terjadi justru dia menganggapku cemburuan, suka gossip dan tidak memiliki
sedikitpun kepercayaan sama suami. Dia bahkan bilang kalau aku posesif, aku
hanya tidak ingin pertengkaran kami yang hampir setiap hari terjadi akhir-akhir
ini didengar oleh anak-anakku. Makanya aku selalu berusaha ngalah dan akhirnya
mencoba berlapang dada atas semua yang kualami. Mungkin Gusti Allah sedang
mencoba aku kali ya mbak?“ lanjutnya dengan suara halus dan
penuh ketabahan. Untung siang-siang seperti ini jarang pelanggan yang datang
beli pulsa, sehingga Mama Citra leluasa bercerita dan akupun tidak terlalu
kikuk mendengarkan cerita yang kuanggap sangat privasi tersebut. Sayangnya, aku
masih juga belum punya satupun perbendaharaan kata untuk diucapkan. Otakku
masih terlalu lelet untuk bisa mengakses masalah-masalah seperti ini dan
memproses setidaknya satu kalimat pelipur atau katakanlah sedikit basa-basi
agar aku terlihat sedikit punya solidaritas. Jujur aku terenyuh, hanya saja aku
tidak terbiasa mendengar keluhan seperti ini, selama ini paling-paling aku
dimintai nasehat tentang pacar selingkuh dan aku tanpa tedeng aling-aling biasa
mengatakan “putus sajalah”.
Lamunanku
buyar ketika Mama Citra kembali melanjutkan curahan hatinya, “Yang membuatku menangis seperti ini karena
sudah beberapa hari belakangan Papanya Citra tambah uring-uringan nggak jelas,
dia semakin jarang pulang kerumah, dan kalaupun pulang dia tidak pernah makan dirumah
bahkan sama sekali tidak pernah menegurku, aku benar-benar dianggapnya tidak
ada. Aku hanya prihatin dengan badannya yang semakin kurus dan tidak terurus. Akhirnya
dengan keputusan bulat, ketika pagi tadi dia pulang ke rumah dan anak-anakku
sudah ke sekolah, aku bilang ke dia, “lamar saja gadis itu kalaupun kau sudah
siap”. Tapi dia justru menangis di hadapanku dan mengakui sejujurnya kalau
selama ini dia memang menjalin hubungan dengan mahasiswi tersebut, dan yang
membuatnya selama ini kurang tidur, tidak mau makan bahkan sampai kurus adalah
disebabkan karena mahasiswi tersebut sudah memutuskan Papanya Citra dan tidak
mau menemuinya lagi ataupun mengangkat telpon dan bahkan membalas smsnya. Dia
terlihat sangat hancur mbak, dia sangat kehilangan gadis itu, itu yang
membuatku kasihan dan berfikir bagaimana caranya untuk bisa membuat suamiku
setidaknya mau kembali tersenyum untuk anak-anakku, bukan buatku mbak. Dan setidaknya
kami bisa menjadi sebuah keluarga yang utuh lagi” katanya dengan getir.
Kali
ini aku benar-benar dibuatnya shock, tanpa sadar kata-kataku meloncat keluar “Ya Allah bu, jadi ibu nangis hanya karena
kasihan sama suami ibu?” tanyaku kesel dan gemas sekaligus tidak habis
pikir. Bagaimana bisa ada orang seperti ini. Aku memandang lurus-lurus ke mata
di balik kacamata tebal itu. Yang kutangkap memang hanya kesungguhan. Hampir
saja terlontar ucapan “ibu sudah tidak
waras kali ya, harusnya ibu minta cerai saja?” “hmm,,,tentu saja tidak boleh” otakku mewarning cepat. Aku menarik
nafas panjang. Bingung mau bilang apa, aku mencoba mengecek saldo pulsaku,
pulsaku sudah masuk dari tadi ternyata. Akhirnya aku hanya bilang "selain menyediakan saldo pulsa, ibu
juga ternyata punya cukup saldo hati” kataku asal. “maksud mbak opo to yo?” Katanya agak bingung. “Yah, kok ibu udah jelas-jelas di khianati kok masih saja ada istilah
kasihan untuk suami ibu, tanpa meminta ma’af pun ibu udah memberi ma’af. Ibu luar
biasa” (kalo saja aku berani sebenarnya ingin kukatakan “masih
saja kasihan sama makhluk semacam suami ibu itu”). “maksudku stok hati ibu banyak, beberapa kali disakiti, ibu bahkan
masih memiliki ruang untuk memikirkan nasib suami ibu” lanjutku menerangkan
dengan agak emosi. “Begitulah mbak, mau
bilang apa lagi. Semoga dia belajar banyak dari apa yang dia lakukan, kok mbak
bisa saja ya nyari istilah, pake saldo hati segala” katanya geli tapi penuh
harap.“Hmm, ibu sangat luar biasa”
pujiku tulus juga kagum.
“Semoga hati suami ibu tergerak
untuk menyadari kesalahannya dan bisa melihat bagaimana ketulusan ibu dalam
menyayanginya” lanjutku berusaha bijaksana. “itulah mbak, aku akan berusaha menunjukkan
sikap terbaikku dihadapan dia, hingga suatu saat Allah membukakan matanya untuk
sebuah kebaikan dan sadar untuk kembali seperti dulu lagi” katanya tegar.
“Amin ya Rabbal alamin, ibu salah meminta
nasehat padaku, ibu bahkan sudah tahu apa yang harus ibu lakukan. Aku yang
mestinya belajar banyak dan kalau bisa sedikit meminta saldo kekuatan hati sama
ibu”
jawabku sedikit bercanda. “ah mbak bisa
saja, terima kasih sudah mau mendengarkanku” ujarnya ringan. Aku kembali melirik
Hello Kitty dipergelangan tanganku, sudah pukul satu kurang lima menit. “aku kayaknya harus berangkat ke kampus ibu,
ini sudah mau masuk” aku berpamitan. “iya
mbak, matur nuwun sangat ya, jangan kapok mampir” katanya mengiringi
langkahku menjauh menuju “Jembatan Cinta
Banaran”.
Dikampus,
ceramah Prof. Warsono tentang ‘Second Language Acquisition’ mendayu seakan lagu
klasik yang begitu saja lewat dialat dengarku. Bersuara, namun tanpa makna
apa-apa, hanya semacam dendang asing berbahasa planet yang tak kumengerti
artinya. Ini pertama kali lantunan pidato Professor tak menarik perhatianku,
biasanya otakku akan sibuk mengikuti jalan pikiran sistematis beliau. Pikiranku
melekat dalam bait-bait kekuatan hati, atau mungkin keajaiban hati yang
dimiliki oleh Mama Citra. Bagaimana bisa hati yang bersemayam dalam jiwa rapuh
dan lemah itu memiliki kekuatan yang begitu dahsyat, kekuatan hati yang
mengalahkan sisi-sisi keegoisan dari seorang individu. Inikah sisi lain dari
sebuah konsekuensi dan komitmen relasi yang telah diikrarkan? atau mungkin
ruang special bagi kekuatan cinta yang teranugerah khusus hanya pada
orang-orang yang beruntung, yang membuatku sedikit membandingkan saldo kekuatan
hati dan keikhlasan memaafkan yang kumiliki. Menghadirkan pertanyaan sentilan
pada diriku pribadi, mampukah sisi egoisitas itu terkikis oleh kekuatan cinta? Harus
cinta yang seperti apa? Pasokan cinta yang seberapa banyak yang dimiliki oleh
orang-orang seperti Mama Citra? Yang akhirnya membuatnya mampu mengeliminir
aturan-aturan logika atau bahkan sisi manusiawi sekalipun. Entahlah, aku belum
sampai pada tahap itu, bisikku menghela nafas panjang. Aku kembali dalam
suasana kelasku, sesi tanya jawab ternyata sudah mulai berlangsung, aku paksa ekspresiku
berpura-pura paham atas diskusi yang berlangsung. “Hm, entahlah” bisikku berulang.
Footnote: Nama tokoh disamarkan.
Irh@