BAJU
BARU
Kuhempaskan
badanku di ruang TV dengan helaan nafas panjang, ransel bututku ku lempar
begitu saja disebelahku. Belum sholat isya, jarum jam sudah menunjukkan pukul
10.00 malam. “Susah juga kalo begini terus
selama seminggu ini” bisikku dalam hati. Pagi-pagi sekali harus ke kampus sementara
malam harus bangun untuk makan sahur. Bulan puasa, hari ke-10, pesantren
ramadhan sudah 3 hari berlangsung, kegiatan yang cukup melelahkan. Menjadi
panitia di seksi konsumsi memang susah-susah gampang, mengurus semua subsidi
teman-teman panitia lainnya, telat sedikit saja para panitia maupun peserta
sudah pada komplain, makanan asin pun seksi konsumsi yang ditegur.
Apalagi dengan adanya aturan tambahan; semua
panitia diharuskan nginap setiap malamnya, supaya tetap bisa mengontrol
kegiatan peserta dengan intensif. Namun pengecualian bagi aku, setiap malam aku
harus pulang kerumah, tepatnya rumah kakakku. Kakak masih melanjutkan sekolah
pascasarjananya diluar kota dan keluarga kecilnya ikut semua, jadi seluruh
tanggungjawab rumah dan pengurusannya diserahkan padaku. Maka ketika pesantren
ramadhan itu berlangsung, aku tetap memutuskan untuk nginap dirumah, aku tetap
nekad pulang dan tidur sendiri di rumah tipe 36 tersebut, meskipun dengan
wilayah yang masih sepi dan rawan, serta rumah-rumah tetangga yang masih sangat
jarang. Memang lumayan takut, tapi aku
tidak punya pilihan tentunya.
Malam
rabu, selesai sahur aku tidak langsung tidur, meski waktu sudah menunjukkan
pukul 3.30, karena aku lumayan penyuka sepakbola, aku berencana menunggu subuh sambil nonton sepakbola. Brazil
VS Venezuela sedang berlaga di TV. Wajah keren Kaka dengan aksi-aksinya
menghilangkan seluruh kantukku yang tersisa, dengan semangat ku ikuti
pertandingan tim Brazil kesayanganku. Ku matikan lampu dan berbaring, volume TV
kuturunkan sampai angka 1 karena kupikir, toh aku tidak mengerti apa yang
dikatakan komentator bola yang berbahasa inggris tersebut. Aku semakin serius
nonton, gol indah dari Roberto Carlos menjadikan skor Brazil sudah 1-0 untuk Venezuela.
Dalam hati ku membatin “Carlos bakal
tambah keren kalo dia nambah gol lagi”. Belum lama berselang, tendangan
sudut untuk Brazil menambah unggul skor 2-0 lewat sundulan kepala si ganteng Kaka,
dan tanpa sadar “yes….yes….yes….” aku
heboh sendiri.
Belum
sempat aku sadar dengan kehebohanku, tiba-tiba bunyi “bruk” yang lumayan keras seperti benda jatuh membuatku kaget
setengah mati. Kupikir bunyi ini berasal dari pagar depan, maka dengan sedikit
panik aku matikan TV, kemudian berjalan pelan menuju jendela depan dan
menyingkap sedikit korden dengan hati-hati. Masya Allah, kulihat ada seseorang
sedang mengendap-ngendap dihalaman depan, cahaya lampu dihalaman depan dengan
jelas memperlihatkan bayangan orang dengan wajah dan badan yang tertutup sarung
seluruhnya, kayaknya orang ini berhasil melompati pagar rumah yang kurang lebih
2 m tersebut, dengan sendirinya badanku gemetaran, lututku lemas. Aku sadar
bahwa orang didepan ini pasti maling. Dia ternyata masuk lewat rumah sebelah
yang sedang dibangun dan masih penuh aneka kayu dan material bangunan. Akhirnya
dengan mudah melompat ke dalam halaman rumah, karena bisa jadi dirumah sebelah
mungkin banyak kursi-kursi kayu atau meja yang tidak terpakai untuk dijadikan
tanjakan.
Tubuhku
gemetar ketakutan, meski dalam hati aku masih sempat berfikir “ne maling kayaknya ga punya ilmu
meringankan tubuh deh, kok jatuh bisa keras begitu” berusaha menenangkan
diri. Aku memutar otak, kira-kira apa yang bisa kulakukan, berteriak minta
tolong kurasa percuma karena rumah-rumah tetangga lumayan jauh, dan lagian “si maling cuma sendirian saja, kayaknya
Karate dasar yang kumiliki cukup untuk melumpuhkan si maling, saatnya
mempraktekkan kemampuanku” batinku mencoba memberanikan diri. Otakku
langsung menduga kalau maling ini pasti akan langsung berusaha masuk lewat
jendela kamar depan yang belum sempat dipakaikan terali sejak dulu, kamar kerja
kakakku, pasti agak susah membongkar pintu depan yang terbuat dari kayu jati
tersebut. Dengan berjingkat-jingkat aku berjalan ke dapur dan mengambil pisau
dapur yang biasa dipakai kakakku mengiris sayur, masih dengan hati
berdebar-debar.
Aku
kembali berdiri disebelah jendela incaran maling tersebut tanpa bunyi
sedikitpun. Aku sudah mulai mendengar grasak-grusuk bunyi jendela dibongkar,
hatiku tambah ciut sebenarnya. Dengan sedikit gemetar, kupegang kuat-kuat pisau
dapur ditangan. 5 menit berlalu, aku semakin deg-degan saja, sebentar-sebentar
kuintip si maling “ne maling kayaknya ga
professional, lama banget” gerutuku dalam hati, meski dalam hati berdo’a
panjang pendek semoga saja dia tidak berhasil membongkar jendelanya. Menit
ketujuh si maling berhasil membongkar jendela, aku beringsut ke sudut gelap
samping jendela, dengan hati-hati malingnya mengangkat daun jendela. Aku sudah
mulai bisa melihat bayangan si maling karena pantulan cahaya lampu halaman yang
cukup terang. Si maling sudah mulai memanjat jendela yang setinggi dada orang
dewasa, celana gombrong besar yang menutupi kakinya terlihat masuk pelan-pelan
dan kupikir sama sekali tidak gesit layaknya maling professional (aku juga
sebenarnya belum pernah lihat maling professional, hanya ekspektasiku terhadap
maling yang seharusnya).
Begitu
kakinya menginjak lantai kamar, kepalanya langsung menengok satu set computer
diatas meja yang berhadapan denganku, otomatis dia membelakangiku dan belum
sadar akan keberadaanku, maka dengan gerakan cepat aku langsung berdiri
dibelakangnya dan menodongkan pisau dapur yang kupegang tepat dipinggangnya “diam” ancamku dengan suara dalam dan
sengaja diberat-beratkan. Golok ditangannya langsung ku rampas dan kupegang
dengan tangan kiri serta kuarahkan pada lehernya “lumayan heroic” pikirku sedikit senang. Tak terkira kagetnya si
maling, meski belum sempat kulihat ekspresi wajahnya, namun kuyakin si maling
lumayan takut, kurasa badannya sedikit bergetar.
Kutebak
pasti si maling berfikir kalau aku laki-laki, karena memang aku memakai baju
kaos lengan panjang dengan celana sport panjang dan rambutku kukuncir pendek.
Dia juga belum sempat melihat wajahku, setelah aku yakin si maling tidak berani
berkutik, aku langsung menyalakan lampu kamar tepat disamping kiriku dengan
pisau dapur masih dipinggang si maling. “buka
kainnya” perintahku dengan suara gemetar, si maling terlihat ragu-ragu juga
setengah tidak yakin kalau suara itu suara perempuan. Dengan suara
dikejam-kejamkan kubilang padanya “saya tidak
main-main dengan pisau ini pak” kataku mengancam, “jadi ikuti saja perintah saya” lanjutku. Si maling ga punya
pilihan, dengan pelan dibukanya kain yang menutupi wajahnya.
Dengan
tetap waspada sambil menodongkan pisau dan golok, ku melangkah ke depan
wajahnya dan betapa kagetnya diriku, “ya
Allah, pak Sin” seruku tertahan. Wajah yang sangat familiar bagiku, ini
bapak tetangga yang ngontrak BTN dua rumah dari rumah kakakku, bapak ini sering
di minta tolong oleh kakakku juga ibu-ibu tetangga lain untuk membersihkan
rumput-rumput liar didepan pagar mereka setiap hari minggu. Selama ini bapak
tersebut dikenal jujur dan baik, ibu-ibu kompleks sangat senang meminta
bantuannya. “pantasan ne orang lamban
banget” aku membatin dengan shock.
Si
Bapak inipun menunduk dengan wajah pias dan merah. Malu,mungkin juga takut.
Setahuku dia memang tidak punya pekerjaan tetap, dengan 4 orang anak yang masih
kecil-kecil. Sempat muncul ketidakpercayaanku, karena wajah polos dan teduh
bapak ini sangat tidak mungkin melakukan hal-hal jahat seperti ini. Aku mulai
menarik tanganku yang memegang pisau dapur dan golok dari badan si bapak,
kemudian semua lampu kunyalakan. “ayo
pak, ke ruang TV” ajakku, “Bapak
ngapain malam-malam gini keluyuran?” tanyaku konyol, sekedar menghilangkan
sungkan dan takut diwajah si Bapak yang semakin pucat itu. Si bapak semakin
dalam menunduk, dan kayaknya perasaan bersalah semakin menghantuinya.
“Oke, kalau Bapak mau cerita apa
adanya, saya akan ma’afin Bapak, saya akan biarin bapak pergi dengan aman dan
saya tidak akan ngasih tau siapapun dan juga tidak melapor ke polisi”
bujukku tegas. “tapi kalo tidak, saya
akan menelpon polsek depan dan akan meminta mereka datang menangkap Bapak”
tambahku pura-pura mengancam. “iya nak”
jawab si Bapak lemas. Butir-butir bening mulai turun diwajahnya yang tirus. “tapi tolong jangan bilang siapa-siapa ya”
matanya memandangku dengan memelas, “siip
janji pak, bapak gak usah khawatir” kataku sedikit terenyuh. Ternyata bapak
ini lagi bingung nyari uang lebaran buat keluarganya.
Dengan
suara pelan yang mengandung nada sedih Si Bapak mulai bercerita, anak-anaknya
sudah mulai saling bercerita satu sama lain, berangan-angan dan mengatakan pada
ibu mereka kalau nanti lebaran tiba, anak laki-laki sulungnya yang berumur 10
tahun minta dibelikan baju koko yang biasa dipakai teman-temannya ketika
jum’atan. Dia mau ikut sholat Id nanti dengan baju koko barunya, sedangkan si
anak perempuannya yang kedua berumur 8 tahun, minta dibelikan sepasang sandal
yang bergambar Barbie yang sejak dulu dia sering lihat ketika diajak ibunya
kepasar tradisional kalau ada ibu-ibu tetangga yang minta tolong buat belanja
sayur-mayur. Anak laki-lakinya yang ketiga berumur 6 tahun minta dibelikan baju
kaos bergambar Power Rangers yang sejak dulu dia idolakan.
Selama
ini anak-anaknya tidak pernah merasakan pakai baju baru layaknya anak-anak
lain, tidak ketika tahun ajaran baru ataupun hari raya lebaran. Baju-baju yang
mereka pakai selama ini adalah pemberian para tetangga yang bermurah hati atau
prihatin atas kehidupan keluarga ini. Aku tidak terlalu tau asal usul keluarga
Pak Sin , karena sejak 2 tahun lalu kami mulai tinggal ditempat ini, keluarga
pak Sin ini sudah duluan menempati rumah kontrakan BTN tipe 21 yang belum
direhab, hanya 1 kamar tidur ukuran 2X3 m, ruang tamu dgn ukuran yang sama
dengan lantai semen yang sudah terkelupas sana-sini serta satu kamar mandi
sempit. Untunglah karena wilayah ini masih belum diminati karena jauh dari
kota, maka harga kontrakanpun masih sangat murah.
Aku
terdiam beberapa saat, prihatin sekaligus bingung harus ngapain, “bapak sudah sahur?” tanyaku memecah
keheningan. “belum nak, saya pulang sahur
dirumah saja” jawabnya tertunduk dalam“jangan,
bapak tunggu sebentar” kataku segera beranjak ke dapur. Kebetulan tadi
pulang dari kampus aku beli ayam goreng dan sayuran dijalan untuk persiapan
sahurku, kurasa masih lumayan untuk porsi satu orang. Maka kukeluarkan nasi
beserta lauknya dihadapan si bapak “ayo
pak sahur dulu, udah mau imsak lo” kataku ringan sekedar mencairkan
kekakuan si bapak “sudah nak, tidak
apa-apa, saya jadi tidak enak” jawabnya semakin tertunduk dengan wajah pias.
“sudah, tidak apa-apa bapak, tidah usah
ga enak begitu, bapak santai saja” jawabku kasihan.
Bapak
mulai memandang nasi dengan lauknya, kulihat airmatanya mulai menetes lagi “saya benar-benar minta ma’af nak, saya
terpaksa melakukan semua ini. Saya hanya tidak tega mendengar rengekan
anak-anak saya, ma’af saya khilaf” katanya lagi penuh emosi. “iya pak, ga apa-apa, asal jangan diulangi
lagi bapak ya. Lebaran kan tidak harus pake baju baru. Anak-anak bapak masih
bisa dikasih pengertian yang baik tentang lebaran” sahutku polos, kurasa
hanya itu kosa kata yang kupunya, aku berfikir keras apa lagi yang harusnya
kukatakan. Hm, aku memang belum bisa memberi nasehat selain itu. “ayo bapak, sahur dulu, nanti keburu imsak”
lanjutku.
Bapak
itu memandangku ragu, “boleh saya bawa
pulang makanannya nak? Istriku dirumah mungkin belum sahur” katanya pelan. “Masya Allah, so sweet” pikirku merasa
trenyuh juga kagum. “tapi kan makanannya cuma
sedikit pak, mungkin tidak cukup untuk berdua” gumanku. “tidak apa-apa nak, segini sudah cukup”
katanya. “baiklah pak, tunggu sebentar”
ujarku sambil membawa masuk makanan tersebut dan memindahkannya kedalam kantong
plastik. Kutambahkan semua nasi yang ada di rice cooker dengan beberapa biji
telur bekal yang ditinggalkan kakak buatku. Aku ingat kalau kemarin aku punya
honor MC ketika ada acara seminar nasional Geografi sekitar Rp.100.000, aku
masih belum memakainya. Maka segera aku masuk kamar dan tanpa pikir mengambil uang tersebut.“bapak,
ma’af saya ga bisa bantu banyak, bapak jangan lakuin hal kayak tadi lagi ya?” kataku
dengan senyum lega.
Si
bapak tersenyum serba salah, malah kupikir senyumnya lebih mirip meringis
daripada senyum. Dengan kikuk tangannya terulur mengambil kantong plastik yang
kusodorkan. Hati-hati kembali kuberikan uang Rp.100.000 ke arah si bapak “ini sekedar uang untuk tambah-tambah
belanja sahurnya ibu”, wajah si bapak kembali memerah, kesedihan dan
penyesalan diwajah itu semakin terlihat. “saya
ga tau harus bilang apa nak, saya sangat berterima kasih dan sekaligus minta
ma’af atas semuanya”. “sudahlah pak,
bukan apa-apa kok, cuma makanan doang. Tapi jangan lupa ya pak, besok pagi
harus datang memperbaiki jendela saya. Ntar saya dimarahi sama kakak”
kataku berusaha mengurangi rasa kikuknya, “nggih,
nggih”. Katanya setengah bergegas namun dengan nada sungguh-sungguh.
Ku
antar si bapak ke depan gerbang “cepatan
bapak, imsaknya tinggal beberapa menit lagi” seruku mengingatkan bapak yang
berjalan gontai menuju rumah kontrakannya. Setelah si bapak lumayan jauh,
dengan sedikit berlari aku masuk kembali kedalam rumah dan mengunci pintu
gerbang serta mencoba mengunci jendela yang tadi dicongkel dengan kawat. “ampun,,,,bagaimana nasib Brazil dan
Venezuala tadi” kataku agak panik. Segera aku ke ruang TV, selebrasi kemenangan Brazil 3-0 atas
Venezuala sedang berlangsung. Aku sedikit kecewa, tapi setidaknya team
kesayanganku menang, meskipun aku telah melewatkan moment-moment penting saat
Brazil menyerang gawang Venezuela. “ups,
aku juga kayaknya ga bakal pake baju baru lebaran ini” ujarku pada diri
sendiri. “tapi tak apalah, semoga uang
yang harusnya buat baju baru tersebut lebih bermanfaat buat si bapak ketimbang
kalau aku pakai” do’aku tulus. Azan subuh berkumandan memanggil seluruh
umat Islam untuk mengagungkan Sang Pencipta.
Pagi,
hari ke-11 puasa, lengking HP Nokia 3315 kesayanganku membangunkan. Hmm, nama “ketua panitia” muncul dilayar
hitam-putihku. Pukul 08.00 “God”
seruku kaget, tentu saja aku harus segera ke kampus. Aku tidak bisa bayangkan
wajah ganteng ketua panitia ‘Pesantren Ramadhan’ bakal berubah jadi singa ketika
memelototiku gara-gara keterlambatan ini. Omelan dari teman-teman panitia tentu
sudah menungguku, wajah-wajah masam seksi acara yang dari tadi tengah malam
mengurus peserta tentu sudah tak bisa kubayangkan. “ah, aku kan hanya seksi konsumsi, tugasku ntar sore kok” bisikku
terkantuk-kantuk sambil menekan tombol off di HP ku. Aku kembali pulas.
End
Irh@