Puluhan pasang mata menatapku tak berkedip, seolah melihat makhluk asing yang entah dari planet mana. Tak kuhiraukan sedikitpun. Aku akui, kakiku seakan dililit oleh ribuan kilo besi, tapi “tidak” kataku dalam hati, tak perlu ada rasa malu dan takut. “Bismillah” aku harus menghadapinya sebagai “Dera” yang dulu. Dera yang tegar, tomboy dan tak takut akan apapun. Aku harus menemui mereka, menunjukkan semua tentang diriku kini, mereka berhak tahu. Mereka adalah bagian dari diriku, dulu, kini dan selamanya. Maka dengan sekali hentakan tekad, ribuan kilo besi itupun enyah dari kakiku. Dengan kepastian yang meyakinkan, kembali kuangkat wajahku, ketegapkan dadaku dan kumantapkan langkahku. Jubahku berkibar tertiup angin. Wajah-wajah heran penuh tanda tanya dibelakangku, kubiarkan dengan segala cibiran dan pikirannya terhadapku.
Gang kampus yang semi aspal itupun seakan berubah menjadi karpet merahku. Merayakan sebuah kemenangan setidaknya kemenangan bagi diriku sendiri, kemenangan atas semua ego-egoku, kemenangan atas ketidaktenanganku, ketidaktentramanku juga ketidaktahuanku dan kemenangan atas kembalinya “DIA” dalam hidupku. Itu yang terpenting kini dan selamanya. Tinggal beberapa meter lagi, kuangkat kepalaku sedikit dan melihat kemah mungil itu masih berdiri tepat dibawah pohon akasia ditengah-tengah lapangan FKIP. Aku yakin, Boim, Bery, Bondan, Mat, dan teman-teman yang lain masih setia nongkrong dibawah tenda mini mereka sambil masak air dan ngopi dengan spirtus mini yang biasa dipakai ketika kami mendaki. Dan hampir bisa kupastikan teman-teman lain juga ada di belakang papan panjat tebing, yang memang tempat favorite bagi aku dan kawan-kawan. Kupercepat langkahku, gerombolan mahasiswa dikantin Bik Inah kembali menyorotiku dengan tatapan asing, Bik Inah yang selama ini kukenal baik sama sekali tidak menegurku, kubiarkan saja langkahku melewatinya tanpa teguran seperti pagi-pagi sebelumnya, kusadari dia tidak mengenalku. Aku memang terlihat sangat asing, meski untuk diriku sendiri.
Kutundukkan wajahku, kupelankan langkah. Beberapa meter dariku, kulihat Moel sedang bermain gitar ditemani Benny yang menyanyikan lagu Iwan Fals “ Nona” sayup-sayup sampai ditelingaku. Berdua mereka berteduh dari mentari pagi dibalik papan panjat yang menjulang. Boim dengan gayanya yang cuek duduk berlipat lutut disamping kemah bututnya, pada pikiranku mungkin dia sedang menikmati sindiran Iwan Fals pada bait-bait lagunya, sementara Raja dan Ben kulihat bersiap-siap latihan panjat tebing, pikiranku menanyakan Mat, Berry dan Bondan. Aku ingin semua melihatku dan mengatakan apa pikiran mereka padaku hari ini, dengan semua perubahanku. Apapun itu, aku siap dengan semua konsekuensinya. Toh pilihan inipun penuh dengan konsekuensi. Aku mendekat, tak ada satu orangpun yang menyadari kehadiranku, benar-benar pagi yang sibuk untuk kampus hijau ini. Yang paling mungkin kutegur adalah Boim, kulihat dia tidak melihat apapun, dia larut dalam pikirannya sendiri sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, asap membumbung melewati ikal rambutnya yang mungkin sudah beberapa hari tak tersentuh air. Dengan perlahan dan hati-hati kudekati dia dan duduk disebelahnya, beberapa detik berlalu, dengan enggan dimiringkan kepalanya kepadaku, seolah ingin menunjukkan bahwa lamunan indahnya dipagi ini tidak ingin diganggu oleh makhluk apapun, termasuk makhluk asing disebelahnya, aku. Matanya menyapu wajahku dengan malas, kusiapkan sebuah senyum sapa’an untuknya. Malah dengan keengganan yang sama kepalanya kembali mengarah lurus kedepan, dengan penasaran kuguncang sedikit lengannya.
“Bim, ini aku. Apakah kau pura-pura tidak mengenalku?”.
Dengan sekali putaran cepat, tanpa kusadari mata bulat dan merah Boim telah memelototiku dengan heran, kulihat keterkejutan yang luar biasa dimata itu. Tentu saja dan sudah kuduga, mulutnya seakan hendak mengeluarkan sebuah nama, tapi kerongkongannya seperti tercekat, tak mampu mengatakan apapun, Boim meyakinkan diri dengan menelan ludah beberapa kali dan menatapku tanpa berkedip.
Dengan tersipu kukatakan padanya “iya benar, ini aku Dera Bim, Dera temanmu”.
Beberapa sa’at kemudian kusadari suara cemprengnya Moel dan Benny sudah tak terdengar lagi, kedua musisi tak bernama ini juga telah mendekat dan ikut melotot padaku tanpa sepatah katapun. Kupandangi mereka satu-satu dan menarik diri pelan-pelan dari sorotan-sorotan bingung, heran dan entah apalagi yang ada dalam pikiran mereka. Kudengar Ben menyuruh Raja segera turun dari papan panjat, dengan suara sengaunya yang khas, Ben teriak-teriak padaku. Beberapa gerombolan mahasiswa dikoridor FKIP sana mau tidak mau menoleh kearah kami, dan kutebak pasti mahasiswa-mahasiswa mengeluh “Mapala memang selalu tak pernah tenang”.
Dengan mimik serius, semua wajah dengan rambut gondrong awut-awutan, mata merah dan kusam ini memandangku, menunggu penjelasanku atau lebih tepatnya menginterogasiku lewat tatapan-tatapan penuh tanya,
“Sebenarnya aku ingin memberitahu kalian tentang semua ini sebelumnya, tapi kupikir tak ada gunanya, karena toh ini keputusanku sendiri dan kuharap kalian mau menghormati keputusanku ini” aku memulai dengan sangat hati-hati.
Aku adalah salah satu anggota Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam), mahasiswa semester enam D3 Pertambangan, salah satu dari segelintir wanita yang berani atau kalau tidak mau dikatakan nekad menjadi anggota mapala, yang pada konotasi nama saja sudah sangat terdengar buruk bagi perempuan yang mungkin dikatakan “wanita”. Karena Mapala selalu identik dengan pergaulan bebas, minuman keras bahkan narkoba serta ditambah dengan berbagai imej buruk lainnya: kumuh, dekil, slengean, jarang mandi, apalagi sholat dan tetek bengek ritual keagaamaan. Apalagi dengan istilah Mapala yang sering diplesetkan dengan “Mahasiswa Paling Lama”, meski memang harus diakui kebenarannya karena hampir semua senior-senior Mapala sudah angkatan expire. Menjadi anggota Mapala adalah sama dengan menyiapkan diri pada sebuah wajah tanpa rasa, menjadi laki-laki yang terperangkap dalam tubuh wanita, menjadi individu yang bukan lagi personal, tapi individu yang melebur dalam komunitas, komunitas yang bersatu dalam kata “solidaritas”. Kekuatan solidaritas yang kami punya membuatku menemukan kembali kasih sayang orang-orang terdekat yang tak pernah kurasakan kasih sayangnya, kekuatan solidaritas ini membuatku melupakan semua beban tanggungjawabku sebagai anak sulung dari 3 orang adik-adikku yang tanpa seorang ayah, yah kami hanya punya ibu, dan itu cukup bagiku. Untukku, cukuplah dia suami ibuku, tak lebih. Dengan kekuatan solidaritas ini pula yang membawaku pada pergaulan menyenangkan, disayangi dan dilindungi. Solidaritas inipun menjadikanku pribadi yang bebas, memandang segala sesuatu dengan berbeda bahkan terhadap gaya hidup dan caraku menjalani hidup, agama bagiku hanya seperangkat aturan moral bagi para tetua kampung, atau kuliah wajib dari dosen Al-Islam dan Kemuhammadiyahan juga tak lebih dari kicauan nyaring anak-anak LDK yang sok agamis. Tak lebih. Mereka kuanggap tak pernah realistis, anak-anak LDK kampus yang rata-rata menyebut diri ikhwan dan akhwat bagiku hanyalah gambaran ideal yang tak terjangkau untuk orang-orang sepertiku. Mereka mengawang dalam kesempurnaan hidup mereka dibawah naungan Tuhan yang mereka yakini, aku dengan seluruh problem kelamku tentu saja akan sulit menerima konsep ini. Hingga keputusanku dalam menjalani hidup hanya dalam realitas-realitas yang kuyakini ‘semasih bisa kulewati sendiri’, karena menurutku tak pernah ada campur tangan Tuhan dalam setiap lembar hari yang kulewati, dalam setiap tetes tangis tertahan ibu dan adik-adikku juga diriku. Kesulitan-kesulitan hidup yang kujalani, masalah demi masalah yang tak pernah beranjak dari keluargaku membuatku tak pernah bisa menerima “keberadaan DIA” dalam detik-detik yang terlewat. Kepercayaan itu terombang-ambing dalam keputusasaanku akan adanya hari cerah kedepannya untukku.
Hanya satu tempatku mampu mengenal diriku, merasa memiliki napas keabadian sang alam, menggenggam harmoni kehidupan, dan melupakan sesak yang menyakitkan dari seluruh pahit ceritaku yaitu dengan berkumpul dan berbagi dengan sahabat-sahabat sejati dan ikut serta disetiap pendakian yang kulakukan bersama mereka. Jangan ditanya bagaimana penampilanku, T-Shirt ketat dengan Jeans belel adalah pakaian favoritku setiap harinya, kadang-kadang juga celana pendek ketika latihan panjat tebing bersama teman-teman. Perbedaan antara aku dan teman-teman lainnya justru mengeratkan ikatan emosional diantara kami. Ditengah-tengah mereka aku bahkan merasa diriku bukan wanita, tapi seutuhnya adalah sama dalam kapasitas maupun kapabilitas. Aku tak pernah melewatkan satu moment pun di kampus tanpa kebersamaan dengan mereka, apalagi alpa. Kehidupan yang sempurna untuk ukuranku.
Hari itu, tak kusangka adalah pagi yang mengubah seluruh konsep ideology maupun pemahamanku akan hidup. Seperti biasa kukendarai sepeda motor Fiz-R ku dengan kecepatan normal menuju kampus, dipertigaan kampus yang memang biasa ramai oleh kendaraan apalagi hari kerja, dengan hati-hati ku belokkan sepeda motor untuk menyebrang, namun dari arah yang berlawanan tiba-tiba datang sepeda motor dengan kecepatan tinggi menabrak motorku telak hingga aku tak sempat melakukan apa-apa. Yang kuingat hanya teriakan kaget dan beberapa raut wajah asing mendekatiku, selainnya hanya hampa yang kurasa.
Sayup-sayup suara itu mengembalikan kesadaranku, lirih menyapu telingaku dengan damai. Suara yang telah begitu lama tak pernah kudengar dan kuabaikan, namun kini tiba-tiba begitu menyentuh, meresap dan mengalir perlahan dalam aliran darahku menuju ke hati. Kubuka mata dan kusapu sekelilingku dengan pandangan penuh tanya. Suara itu seketika berhenti dan memegang tanganku lembut. Pelan kumiringkan kepala berusaha melihat pemilik suara nan lembut, kepalaku berat dan beberapa lilitan perban membuatku sadar akan apa yang telah terjadi. Sosok ini seakan tidak asing bagiku, wajah yang ayu dengan jubah besar menutup seluruh tubuhnya, namun juga terlihat pucat dan kulihat kedua belah tangannya yang memegang Al-Qur’an juga diperban. Aku masih belum mampu mengingat lebih jauh siapa perempuan berwajah anggun ini, begitu familiar bagiku.
“Dera, aku Yati. Aku anak LDK kampus, aku minta ma’af, tadi aku yang menabrakmu. Aku sedang terburu-buru karena harus mengantar sesuatu yang penting untuk keluargaku, dan hendak mengirimnya lewat orang, dan dia sedang menungguku waktu itu. Karena tidak enak ditunggu terlalu lama, aku ngebut dan tidak memperhatikan kamu yang hendak nyebrang”
dengan mimik penuh penyesalan wajah ayu itu memohon ma’af padaku, nada tulus terdengar disuaranya yang lembut bercampur nada tangis. Rasa marah yang hampir saja meledak dengan kata kasar yang telah kusiapkan seakan tertahan ditenggorokanku, raib begitu saja begitu mendengar kata-kata tulus tersebut.
“Aku sudah membawa motormu dan motorku ke bengkel, jangan khawatir, aku akan memperbaiki semuanya berikut biayanya” tambahnya dengan nada pelan. “bagaimana kalau ku telpon orangtua mu?aku juga akan meminta ma’af ke mereka sekaligus menceritakan semuanya” ujarnya lagi dengan penuh tanggungjawab.
Awal yang mengubah diriku, persahabatan yang ditawarkan mba Yati dengan segala kesahajaan dan kebaikan hatinya membuatku mengagumi sosoknya, sikap dan tingkah lakunya yang santun dan anggun menarik hatiku untuk lebih mengenalnya. Pemahamannya yang begitu mendalam akan filosofi kehidupan dan implementasi nilai-nilai keimanan yang konsisten membuatku merekonstruksi ulang paradigmaku akan wajah-wajah teduh anak-anak LDK yang kuanggap manusia-manusia sempurna tanpa masalah, membuatku menata kembali anggapanku tentang “DIA” yang selama ini kuanggap tak pernah ada dalam setiap kepahitan-kepahitan masa laluku. Memberiku gambaran yang berwarna atas buramnya gambaran masa depanku dan tak terarahnya tujuan hidupku. Aku mulai sering ke kosnya, mengikuti kajian LDK setiap ahad pagi di mushola kampus. Nasehat-nasehat penuh makna dari para Ustadzah penyaji sedikit demi sedikit mencairkan cadas di hatiku, bahkan berhasil mengikis rasa benci yang begitu mendalam terhadap ayahku yang telah begitu tega meninggalkan ibu, aku dan adik-adikku tanpa kata dan pesan. Teman-teman Mapala sedikitpun tak ada yang tau dengan kegiatan “lainku” karena aku memang tak pernah bersikap beda dari biasanya. Hingga ketika suatu hari kutanyakan kepada mba Yati, bagaimana caranya menghilangkan gelisah dalam jiwaku, dengan bijak dia tersenyum padaku dan berkata
“Terima segala keadaanmu dengan ikhlas, syukuri apa yang kau miliki hari ini dengan sungguh-sungguh. Kau masih punya ibu yang menyayangimu, masih bisa kuliah dan hidup yang layak, kau masih punya adik-adik yang membutuhkanmu dan jangan lupa teman-teman yang selalu mendukungmu dalam keadaan bagaimanapun. Jadikan “Dia” tempat mengeluh dari setiap masalahmu dalam sujud-sujud malam yang panjang untuk-Nya, ma’afkan setiap kesalahan yang pernah dilakukan terhadapmu. Maka kau akan menemukan dirimu dalam jiwa yang terbalut keikhlasan dan keberserahan”.
Nasehat sederhana itu membawaku pada malam-malam panjang yang sentimentil. Tersungkur dalam permohonan ampunan dari “DIA” atas prasangkaku, atas alpaku dan ketidakfahamanku. Hingga pagi setelahnya, ku peluk ibuku dan memohon ampun atas sikapku selama ini dan mengutarakan keinginanku untuk berubah, ibuku yang hendak keluar bekerja menatapku tak percaya, genangan air disepasang mata letihnya menunjukkan kesyukuran dan kelegaan terdalam dari seorang ibu, dalam kehangatan pelukannya ketumukan sejuta kekuatan untukku dipagi ini dan pagi-pagiku selanjutnya, semoga. Maka hari ini dengan tekad kuat kulangkahkan kakiku ke kampus, kutunjukkan diriku kini dihadapan sahabat-sahabat karibku. Inilah aku, Dera yang baru.