hmm....
sering-sering dibuka blogernya ibu ira biar selalu awet. coalnya klw klamaan ndak dibuka bisa rusak gitu...
semoga bisa dibuka
sukses selalu buat ibu ira
HUMAIRAH BIMA
Kamis, 17 Januari 2013
Selasa, 27 November 2012
SALDO HATI
Memory of Nov,
21st 2012
“Pulsa……”
seruku dengan nada agak tinggi, sudah hampir 3 kali aku memanggil-manggil
pemilik counter langgananku. Counter yang sekaligus rumah tinggal itu masih
terlihat sunyi, hanya pintu yang menghubungkan counter dengan rumah didalamnya
yang terlihat terbuka. Membuatku yakin bahwa pemilik counter ada dalam
rumahnya. Belum juga terdengar sahutan, apalagi seseorang atau setidaknya
sepotong makhluk hidup muncul. “Citra…” teriakku
lumayan nyaring, juga untuk panggilan kesekian kalinya. Aku sudah terlanjur
menulis nomor HP ku di buku list isi pulsa seperti biasanya, sehingga mau tidak
mau aku harus menunggu sang pemilik counter. Beberapa menit berlalu, aku duduk
di kursi pelanggan menghadap ke pintu
kecil gerbang kampus yang kurasa lebih mirip gang tikus. Sering aku dengar
anak-anak kampus menyebutnya dengan “Jembatan
Cinta Banaran”, entahlah aku tidak tahu sejarahnya. Ku perhatikan saja
mahasiswa yang hilir mudik keluar masuk pintu gerbang sambil memainkan pulpen
ditanganku dengan nada tidak sabar, “eh,
mbak” suara serak membuatku mengangkat kepala dan bersiap melontarkan
senyum sambutan. “Mama Citra,,,” aku
reflex membalikkan badanku dan hendak menyapanya seperti biasa, namun kata-kataku
tertahan. Mata dibalik kacamata itu tertutup mendung pekat mengandung air mata.
Wajah manisnya yang biasa menyapaku riang membias lembayung penuh kesedihan. Rambutnya
yang biasa lurus dan terurai rapi kini terlihat kusut dan sepertinya tidak
terkena sisir selama seminggu. Aku menjadi tidak enak sendiri, senyum pun
kutarik perlahan. “eh, mau isi pulsa bu”
kataku dengan salah tingkah. Kulihat dengan susah payah ditahannya butir-butir
bening yang ingin menerjang kelopak matanya, pun dengan usaha keras dicobanya
membentuk satu senyum bersahabat denganku seakan ingin mengatakan bahwa
tangisnya bukan karena teriakanku di siang bolong ini.
Maka
dengan gerakan perlahan diambilnya buku list customer didepanku, aku hanya diam
tanpa kata, hanya mencoba seakan-akan tidak tahu bahwa didepanku ada orang yang
sedang menangis, kulihat bibirnya bergetar menahan isak yang tertahan. “kira-kira sehebat apa penderitaan atau
mungkin sakit yang dialami oleh Mama Citra” batinku bertanya-tanya sambil
duduk diam dan pura-pura sibuk dengan HP ku, juga sekalian menunggu pulsa yang
ku isi masuk dalam saldoku. Karena biasanya selama ini aku sering berbincang
ringan dan bahkan bercanda dengan Mama Citra kalau sedang isi pulsa, karena
hampir tiap hari aku melewati counternya. Counternya terletak di pinggir jalan
yang aku lewati menuju kampus, dan kadang-kadang 2 kali seminggu aku dan
temanku tetap menyempatkan diri untuk isi pulsa atau hanya sekedar ngobrol
riang dengan Mama Citra, mendengarkan dia bercerita tentang keluarganya, juga
menyukai caranya membanggakan adik laki-lakinya yang sedang menempuh pendidikan
S2 di Bandung, yang menurut dia masih
single. Biasanya juga dia tidak pernah bosan menanyakan tentang daerah asalku,
yang dia rasa sangat asing. Dia bahkan tidak habis pikir bagaimana bisa aku
yang dari NTB sana, yang menurut hemat mereka sungguh begitu jauh merantau di Semarang,
perempuan pula, begitulah katanya setiap dia bertanya tentang Lombok. Jadilah
kami biasanya bertukar cerita atau sekedar menanyakan makanan khas daerah
asalku, oleh-oleh khas Lombok ataupun tempat-tempat wisata yang mengagumkan di
NTB.
“Mbak kuliah jam berapa hari ini”
katanya tiba-tiba mengagetkanku. Kuangkat kepalaku, kulihat wajahnya sudah
lumayan jernih, kayaknya dia sudah mampu menguasai diri dan air matanya pun
sudah tidak merembes lagi dipipinya. Kulirik Hello kitty di pergelangan
tanganku, jarumnya menunjukkan pukul 12.30, “Sebentar jam satu bu” sahutku
kaku (aku sering panggil ibu, kadang-kadang juga Mama Citra, karena kutaksir
umurnya sudah sekitar 35 tahunan)”. “mbak
nggak terburu-buru kan?” tanyanya lagi dengan logat Jawanya yang kental. “nggak kok buk, masih sekitar 30 menit lagi”
jawabku dengan sedikit ragu juga agak heran. Ibu dua anak ini kulihat menghela
nafas panjang, mencoba menenangkan dirinya dengan kembali melempar senyum ramah
padaku. “mbak pasti heran ya melihatku
nangis kayak gini” tanyanya tiba-tiba dengan nada yang lebih mirip keluhan.
“eh,,,nggak juga bu” jawabku grogi,
dan sejujurnya ingin segera beranjak meminta diri, tepatnya melarikan diri dari
situasi yang kurasa tidak nyaman itu. Belum sempat ucapan pamit keluar dari
bibirku, tiba-tiba Mama Citra mengeluarkan pertanyaan lagi yang membuatku tertegun.
“kira-kira mbak mau sedikit berbagi
nasihat nggak sama aku” katanya perlahan. Tentu saja aku tidak tau harus
jawab apa, beberapa saat ku diam “wah,
gimana ya bu” jawabku ragu-ragu “tapi
kalau ibu berkenan, saya siap kok mendengarkan cerita ibu” kataku sedikit
berdiplomasi sambil garuk-garuk jilbabku yang tidak gatal, karena terus terang
aku paling susah menasehati orang yang lebih tua dariku, wong nasehati diri
sendiri saja belum kelar-kelar.
“Beberapa hari yang lalu temanku
memberitahuku kalau suamiku menjalin hubungan khusus dengan seorang gadis, dia pernah
melihat suamiku berduaan dengan salah satu mahasiswi semester 3 dikampus ini
jurusan seni tari. Sebelumnya aku memang sudah mendengar kalau Papanya Citra punya
hubungan khusus dengan seseorang. Tapi aku tidak percaya, meskipun selama ini
dia (suaminya) sering berlaku kasar dan bahkan terkadang memukulku, aku tidak
pernah terlalu mempermasalahkan. Karena anak-anak sudah besar, aku berfikir
kalo aku nggak boleh egois untuk memikirkan diri sendiri dan mengabaikan nasib
anak-anakku. Maka dengan besar hati aku mencoba meyakinkan diri, bisa saja ini
hanya fitnah atau mungkin saja gadis itu hanya pelanggan suamiku (suaminya
mengelola warnet yang juga tidak jauh dari counter mereka). Aku berharap semoga
suatu hari dia bisa berubah” tuturnya dengan pandangan
nelangsa, matanya kosong memandang jauh kedepan. Aku ternganga, lidahku kelu
tak mampu mengucap sepatah katapun. Aku hanya sempat berfikir dan memastikan
apakah aku layak mendengar cerita ini. Meskipun dengan pikiran yang bercampur
aduk, kembali kuikuti bait-bait katanya yang mengharu biru.
“Selama ini aku hanya pura-pura
tidak tahu dan bahkan sengaja menutup telinga dari isu miring tentang suamiku,
juga berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa antara aku dengan suamiku
walaupun sikapnya memang terlihat aneh, sedikit-sedikit marah bahkan anaknya
pun kerapkali dibentak. Pernah aku bertanya baik-baik tentang isu itu, yang
terjadi justru dia menganggapku cemburuan, suka gossip dan tidak memiliki
sedikitpun kepercayaan sama suami. Dia bahkan bilang kalau aku posesif, aku
hanya tidak ingin pertengkaran kami yang hampir setiap hari terjadi akhir-akhir
ini didengar oleh anak-anakku. Makanya aku selalu berusaha ngalah dan akhirnya
mencoba berlapang dada atas semua yang kualami. Mungkin Gusti Allah sedang
mencoba aku kali ya mbak?“ lanjutnya dengan suara halus dan
penuh ketabahan. Untung siang-siang seperti ini jarang pelanggan yang datang
beli pulsa, sehingga Mama Citra leluasa bercerita dan akupun tidak terlalu
kikuk mendengarkan cerita yang kuanggap sangat privasi tersebut. Sayangnya, aku
masih juga belum punya satupun perbendaharaan kata untuk diucapkan. Otakku
masih terlalu lelet untuk bisa mengakses masalah-masalah seperti ini dan
memproses setidaknya satu kalimat pelipur atau katakanlah sedikit basa-basi
agar aku terlihat sedikit punya solidaritas. Jujur aku terenyuh, hanya saja aku
tidak terbiasa mendengar keluhan seperti ini, selama ini paling-paling aku
dimintai nasehat tentang pacar selingkuh dan aku tanpa tedeng aling-aling biasa
mengatakan “putus sajalah”.
Lamunanku
buyar ketika Mama Citra kembali melanjutkan curahan hatinya, “Yang membuatku menangis seperti ini karena
sudah beberapa hari belakangan Papanya Citra tambah uring-uringan nggak jelas,
dia semakin jarang pulang kerumah, dan kalaupun pulang dia tidak pernah makan dirumah
bahkan sama sekali tidak pernah menegurku, aku benar-benar dianggapnya tidak
ada. Aku hanya prihatin dengan badannya yang semakin kurus dan tidak terurus. Akhirnya
dengan keputusan bulat, ketika pagi tadi dia pulang ke rumah dan anak-anakku
sudah ke sekolah, aku bilang ke dia, “lamar saja gadis itu kalaupun kau sudah
siap”. Tapi dia justru menangis di hadapanku dan mengakui sejujurnya kalau
selama ini dia memang menjalin hubungan dengan mahasiswi tersebut, dan yang
membuatnya selama ini kurang tidur, tidak mau makan bahkan sampai kurus adalah
disebabkan karena mahasiswi tersebut sudah memutuskan Papanya Citra dan tidak
mau menemuinya lagi ataupun mengangkat telpon dan bahkan membalas smsnya. Dia
terlihat sangat hancur mbak, dia sangat kehilangan gadis itu, itu yang
membuatku kasihan dan berfikir bagaimana caranya untuk bisa membuat suamiku
setidaknya mau kembali tersenyum untuk anak-anakku, bukan buatku mbak. Dan setidaknya
kami bisa menjadi sebuah keluarga yang utuh lagi” katanya dengan getir.
Kali
ini aku benar-benar dibuatnya shock, tanpa sadar kata-kataku meloncat keluar “Ya Allah bu, jadi ibu nangis hanya karena
kasihan sama suami ibu?” tanyaku kesel dan gemas sekaligus tidak habis
pikir. Bagaimana bisa ada orang seperti ini. Aku memandang lurus-lurus ke mata
di balik kacamata tebal itu. Yang kutangkap memang hanya kesungguhan. Hampir
saja terlontar ucapan “ibu sudah tidak
waras kali ya, harusnya ibu minta cerai saja?” “hmm,,,tentu saja tidak boleh” otakku mewarning cepat. Aku menarik
nafas panjang. Bingung mau bilang apa, aku mencoba mengecek saldo pulsaku,
pulsaku sudah masuk dari tadi ternyata. Akhirnya aku hanya bilang "selain menyediakan saldo pulsa, ibu
juga ternyata punya cukup saldo hati” kataku asal. “maksud mbak opo to yo?” Katanya agak bingung. “Yah, kok ibu udah jelas-jelas di khianati kok masih saja ada istilah
kasihan untuk suami ibu, tanpa meminta ma’af pun ibu udah memberi ma’af. Ibu luar
biasa” (kalo saja aku berani sebenarnya ingin kukatakan “masih
saja kasihan sama makhluk semacam suami ibu itu”). “maksudku stok hati ibu banyak, beberapa kali disakiti, ibu bahkan
masih memiliki ruang untuk memikirkan nasib suami ibu” lanjutku menerangkan
dengan agak emosi. “Begitulah mbak, mau
bilang apa lagi. Semoga dia belajar banyak dari apa yang dia lakukan, kok mbak
bisa saja ya nyari istilah, pake saldo hati segala” katanya geli tapi penuh
harap.“Hmm, ibu sangat luar biasa”
pujiku tulus juga kagum.
“Semoga hati suami ibu tergerak
untuk menyadari kesalahannya dan bisa melihat bagaimana ketulusan ibu dalam
menyayanginya” lanjutku berusaha bijaksana. “itulah mbak, aku akan berusaha menunjukkan
sikap terbaikku dihadapan dia, hingga suatu saat Allah membukakan matanya untuk
sebuah kebaikan dan sadar untuk kembali seperti dulu lagi” katanya tegar.
“Amin ya Rabbal alamin, ibu salah meminta
nasehat padaku, ibu bahkan sudah tahu apa yang harus ibu lakukan. Aku yang
mestinya belajar banyak dan kalau bisa sedikit meminta saldo kekuatan hati sama
ibu”
jawabku sedikit bercanda. “ah mbak bisa
saja, terima kasih sudah mau mendengarkanku” ujarnya ringan. Aku kembali melirik
Hello Kitty dipergelangan tanganku, sudah pukul satu kurang lima menit. “aku kayaknya harus berangkat ke kampus ibu,
ini sudah mau masuk” aku berpamitan. “iya
mbak, matur nuwun sangat ya, jangan kapok mampir” katanya mengiringi
langkahku menjauh menuju “Jembatan Cinta
Banaran”.
Dikampus,
ceramah Prof. Warsono tentang ‘Second Language Acquisition’ mendayu seakan lagu
klasik yang begitu saja lewat dialat dengarku. Bersuara, namun tanpa makna
apa-apa, hanya semacam dendang asing berbahasa planet yang tak kumengerti
artinya. Ini pertama kali lantunan pidato Professor tak menarik perhatianku,
biasanya otakku akan sibuk mengikuti jalan pikiran sistematis beliau. Pikiranku
melekat dalam bait-bait kekuatan hati, atau mungkin keajaiban hati yang
dimiliki oleh Mama Citra. Bagaimana bisa hati yang bersemayam dalam jiwa rapuh
dan lemah itu memiliki kekuatan yang begitu dahsyat, kekuatan hati yang
mengalahkan sisi-sisi keegoisan dari seorang individu. Inikah sisi lain dari
sebuah konsekuensi dan komitmen relasi yang telah diikrarkan? atau mungkin
ruang special bagi kekuatan cinta yang teranugerah khusus hanya pada
orang-orang yang beruntung, yang membuatku sedikit membandingkan saldo kekuatan
hati dan keikhlasan memaafkan yang kumiliki. Menghadirkan pertanyaan sentilan
pada diriku pribadi, mampukah sisi egoisitas itu terkikis oleh kekuatan cinta? Harus
cinta yang seperti apa? Pasokan cinta yang seberapa banyak yang dimiliki oleh
orang-orang seperti Mama Citra? Yang akhirnya membuatnya mampu mengeliminir
aturan-aturan logika atau bahkan sisi manusiawi sekalipun. Entahlah, aku belum
sampai pada tahap itu, bisikku menghela nafas panjang. Aku kembali dalam
suasana kelasku, sesi tanya jawab ternyata sudah mulai berlangsung, aku paksa ekspresiku
berpura-pura paham atas diskusi yang berlangsung. “Hm, entahlah” bisikku berulang.
Footnote: Nama tokoh disamarkan.
Irh@
Minggu, 23 September 2012
BAJU BARU
BAJU
BARU
Kuhempaskan
badanku di ruang TV dengan helaan nafas panjang, ransel bututku ku lempar
begitu saja disebelahku. Belum sholat isya, jarum jam sudah menunjukkan pukul
10.00 malam. “Susah juga kalo begini terus
selama seminggu ini” bisikku dalam hati. Pagi-pagi sekali harus ke kampus sementara
malam harus bangun untuk makan sahur. Bulan puasa, hari ke-10, pesantren
ramadhan sudah 3 hari berlangsung, kegiatan yang cukup melelahkan. Menjadi
panitia di seksi konsumsi memang susah-susah gampang, mengurus semua subsidi
teman-teman panitia lainnya, telat sedikit saja para panitia maupun peserta
sudah pada komplain, makanan asin pun seksi konsumsi yang ditegur.
Apalagi dengan adanya aturan tambahan; semua
panitia diharuskan nginap setiap malamnya, supaya tetap bisa mengontrol
kegiatan peserta dengan intensif. Namun pengecualian bagi aku, setiap malam aku
harus pulang kerumah, tepatnya rumah kakakku. Kakak masih melanjutkan sekolah
pascasarjananya diluar kota dan keluarga kecilnya ikut semua, jadi seluruh
tanggungjawab rumah dan pengurusannya diserahkan padaku. Maka ketika pesantren
ramadhan itu berlangsung, aku tetap memutuskan untuk nginap dirumah, aku tetap
nekad pulang dan tidur sendiri di rumah tipe 36 tersebut, meskipun dengan
wilayah yang masih sepi dan rawan, serta rumah-rumah tetangga yang masih sangat
jarang. Memang lumayan takut, tapi aku
tidak punya pilihan tentunya.
Malam
rabu, selesai sahur aku tidak langsung tidur, meski waktu sudah menunjukkan
pukul 3.30, karena aku lumayan penyuka sepakbola, aku berencana menunggu subuh sambil nonton sepakbola. Brazil
VS Venezuela sedang berlaga di TV. Wajah keren Kaka dengan aksi-aksinya
menghilangkan seluruh kantukku yang tersisa, dengan semangat ku ikuti
pertandingan tim Brazil kesayanganku. Ku matikan lampu dan berbaring, volume TV
kuturunkan sampai angka 1 karena kupikir, toh aku tidak mengerti apa yang
dikatakan komentator bola yang berbahasa inggris tersebut. Aku semakin serius
nonton, gol indah dari Roberto Carlos menjadikan skor Brazil sudah 1-0 untuk Venezuela.
Dalam hati ku membatin “Carlos bakal
tambah keren kalo dia nambah gol lagi”. Belum lama berselang, tendangan
sudut untuk Brazil menambah unggul skor 2-0 lewat sundulan kepala si ganteng Kaka,
dan tanpa sadar “yes….yes….yes….” aku
heboh sendiri.
Belum
sempat aku sadar dengan kehebohanku, tiba-tiba bunyi “bruk” yang lumayan keras seperti benda jatuh membuatku kaget
setengah mati. Kupikir bunyi ini berasal dari pagar depan, maka dengan sedikit
panik aku matikan TV, kemudian berjalan pelan menuju jendela depan dan
menyingkap sedikit korden dengan hati-hati. Masya Allah, kulihat ada seseorang
sedang mengendap-ngendap dihalaman depan, cahaya lampu dihalaman depan dengan
jelas memperlihatkan bayangan orang dengan wajah dan badan yang tertutup sarung
seluruhnya, kayaknya orang ini berhasil melompati pagar rumah yang kurang lebih
2 m tersebut, dengan sendirinya badanku gemetaran, lututku lemas. Aku sadar
bahwa orang didepan ini pasti maling. Dia ternyata masuk lewat rumah sebelah
yang sedang dibangun dan masih penuh aneka kayu dan material bangunan. Akhirnya
dengan mudah melompat ke dalam halaman rumah, karena bisa jadi dirumah sebelah
mungkin banyak kursi-kursi kayu atau meja yang tidak terpakai untuk dijadikan
tanjakan.
Tubuhku
gemetar ketakutan, meski dalam hati aku masih sempat berfikir “ne maling kayaknya ga punya ilmu
meringankan tubuh deh, kok jatuh bisa keras begitu” berusaha menenangkan
diri. Aku memutar otak, kira-kira apa yang bisa kulakukan, berteriak minta
tolong kurasa percuma karena rumah-rumah tetangga lumayan jauh, dan lagian “si maling cuma sendirian saja, kayaknya
Karate dasar yang kumiliki cukup untuk melumpuhkan si maling, saatnya
mempraktekkan kemampuanku” batinku mencoba memberanikan diri. Otakku
langsung menduga kalau maling ini pasti akan langsung berusaha masuk lewat
jendela kamar depan yang belum sempat dipakaikan terali sejak dulu, kamar kerja
kakakku, pasti agak susah membongkar pintu depan yang terbuat dari kayu jati
tersebut. Dengan berjingkat-jingkat aku berjalan ke dapur dan mengambil pisau
dapur yang biasa dipakai kakakku mengiris sayur, masih dengan hati
berdebar-debar.
Aku
kembali berdiri disebelah jendela incaran maling tersebut tanpa bunyi
sedikitpun. Aku sudah mulai mendengar grasak-grusuk bunyi jendela dibongkar,
hatiku tambah ciut sebenarnya. Dengan sedikit gemetar, kupegang kuat-kuat pisau
dapur ditangan. 5 menit berlalu, aku semakin deg-degan saja, sebentar-sebentar
kuintip si maling “ne maling kayaknya ga
professional, lama banget” gerutuku dalam hati, meski dalam hati berdo’a
panjang pendek semoga saja dia tidak berhasil membongkar jendelanya. Menit
ketujuh si maling berhasil membongkar jendela, aku beringsut ke sudut gelap
samping jendela, dengan hati-hati malingnya mengangkat daun jendela. Aku sudah
mulai bisa melihat bayangan si maling karena pantulan cahaya lampu halaman yang
cukup terang. Si maling sudah mulai memanjat jendela yang setinggi dada orang
dewasa, celana gombrong besar yang menutupi kakinya terlihat masuk pelan-pelan
dan kupikir sama sekali tidak gesit layaknya maling professional (aku juga
sebenarnya belum pernah lihat maling professional, hanya ekspektasiku terhadap
maling yang seharusnya).
Begitu
kakinya menginjak lantai kamar, kepalanya langsung menengok satu set computer
diatas meja yang berhadapan denganku, otomatis dia membelakangiku dan belum
sadar akan keberadaanku, maka dengan gerakan cepat aku langsung berdiri
dibelakangnya dan menodongkan pisau dapur yang kupegang tepat dipinggangnya “diam” ancamku dengan suara dalam dan
sengaja diberat-beratkan. Golok ditangannya langsung ku rampas dan kupegang
dengan tangan kiri serta kuarahkan pada lehernya “lumayan heroic” pikirku sedikit senang. Tak terkira kagetnya si
maling, meski belum sempat kulihat ekspresi wajahnya, namun kuyakin si maling
lumayan takut, kurasa badannya sedikit bergetar.
Kutebak
pasti si maling berfikir kalau aku laki-laki, karena memang aku memakai baju
kaos lengan panjang dengan celana sport panjang dan rambutku kukuncir pendek.
Dia juga belum sempat melihat wajahku, setelah aku yakin si maling tidak berani
berkutik, aku langsung menyalakan lampu kamar tepat disamping kiriku dengan
pisau dapur masih dipinggang si maling. “buka
kainnya” perintahku dengan suara gemetar, si maling terlihat ragu-ragu juga
setengah tidak yakin kalau suara itu suara perempuan. Dengan suara
dikejam-kejamkan kubilang padanya “saya tidak
main-main dengan pisau ini pak” kataku mengancam, “jadi ikuti saja perintah saya” lanjutku. Si maling ga punya
pilihan, dengan pelan dibukanya kain yang menutupi wajahnya.
Dengan
tetap waspada sambil menodongkan pisau dan golok, ku melangkah ke depan
wajahnya dan betapa kagetnya diriku, “ya
Allah, pak Sin” seruku tertahan. Wajah yang sangat familiar bagiku, ini
bapak tetangga yang ngontrak BTN dua rumah dari rumah kakakku, bapak ini sering
di minta tolong oleh kakakku juga ibu-ibu tetangga lain untuk membersihkan
rumput-rumput liar didepan pagar mereka setiap hari minggu. Selama ini bapak
tersebut dikenal jujur dan baik, ibu-ibu kompleks sangat senang meminta
bantuannya. “pantasan ne orang lamban
banget” aku membatin dengan shock.
Si
Bapak inipun menunduk dengan wajah pias dan merah. Malu,mungkin juga takut.
Setahuku dia memang tidak punya pekerjaan tetap, dengan 4 orang anak yang masih
kecil-kecil. Sempat muncul ketidakpercayaanku, karena wajah polos dan teduh
bapak ini sangat tidak mungkin melakukan hal-hal jahat seperti ini. Aku mulai
menarik tanganku yang memegang pisau dapur dan golok dari badan si bapak,
kemudian semua lampu kunyalakan. “ayo
pak, ke ruang TV” ajakku, “Bapak
ngapain malam-malam gini keluyuran?” tanyaku konyol, sekedar menghilangkan
sungkan dan takut diwajah si Bapak yang semakin pucat itu. Si bapak semakin
dalam menunduk, dan kayaknya perasaan bersalah semakin menghantuinya.
“Oke, kalau Bapak mau cerita apa
adanya, saya akan ma’afin Bapak, saya akan biarin bapak pergi dengan aman dan
saya tidak akan ngasih tau siapapun dan juga tidak melapor ke polisi”
bujukku tegas. “tapi kalo tidak, saya
akan menelpon polsek depan dan akan meminta mereka datang menangkap Bapak”
tambahku pura-pura mengancam. “iya nak”
jawab si Bapak lemas. Butir-butir bening mulai turun diwajahnya yang tirus. “tapi tolong jangan bilang siapa-siapa ya”
matanya memandangku dengan memelas, “siip
janji pak, bapak gak usah khawatir” kataku sedikit terenyuh. Ternyata bapak
ini lagi bingung nyari uang lebaran buat keluarganya.
Dengan
suara pelan yang mengandung nada sedih Si Bapak mulai bercerita, anak-anaknya
sudah mulai saling bercerita satu sama lain, berangan-angan dan mengatakan pada
ibu mereka kalau nanti lebaran tiba, anak laki-laki sulungnya yang berumur 10
tahun minta dibelikan baju koko yang biasa dipakai teman-temannya ketika
jum’atan. Dia mau ikut sholat Id nanti dengan baju koko barunya, sedangkan si
anak perempuannya yang kedua berumur 8 tahun, minta dibelikan sepasang sandal
yang bergambar Barbie yang sejak dulu dia sering lihat ketika diajak ibunya
kepasar tradisional kalau ada ibu-ibu tetangga yang minta tolong buat belanja
sayur-mayur. Anak laki-lakinya yang ketiga berumur 6 tahun minta dibelikan baju
kaos bergambar Power Rangers yang sejak dulu dia idolakan.
Selama
ini anak-anaknya tidak pernah merasakan pakai baju baru layaknya anak-anak
lain, tidak ketika tahun ajaran baru ataupun hari raya lebaran. Baju-baju yang
mereka pakai selama ini adalah pemberian para tetangga yang bermurah hati atau
prihatin atas kehidupan keluarga ini. Aku tidak terlalu tau asal usul keluarga
Pak Sin , karena sejak 2 tahun lalu kami mulai tinggal ditempat ini, keluarga
pak Sin ini sudah duluan menempati rumah kontrakan BTN tipe 21 yang belum
direhab, hanya 1 kamar tidur ukuran 2X3 m, ruang tamu dgn ukuran yang sama
dengan lantai semen yang sudah terkelupas sana-sini serta satu kamar mandi
sempit. Untunglah karena wilayah ini masih belum diminati karena jauh dari
kota, maka harga kontrakanpun masih sangat murah.
Aku
terdiam beberapa saat, prihatin sekaligus bingung harus ngapain, “bapak sudah sahur?” tanyaku memecah
keheningan. “belum nak, saya pulang sahur
dirumah saja” jawabnya tertunduk dalam“jangan,
bapak tunggu sebentar” kataku segera beranjak ke dapur. Kebetulan tadi
pulang dari kampus aku beli ayam goreng dan sayuran dijalan untuk persiapan
sahurku, kurasa masih lumayan untuk porsi satu orang. Maka kukeluarkan nasi
beserta lauknya dihadapan si bapak “ayo
pak sahur dulu, udah mau imsak lo” kataku ringan sekedar mencairkan
kekakuan si bapak “sudah nak, tidak
apa-apa, saya jadi tidak enak” jawabnya semakin tertunduk dengan wajah pias.
“sudah, tidak apa-apa bapak, tidah usah
ga enak begitu, bapak santai saja” jawabku kasihan.
Bapak
mulai memandang nasi dengan lauknya, kulihat airmatanya mulai menetes lagi “saya benar-benar minta ma’af nak, saya
terpaksa melakukan semua ini. Saya hanya tidak tega mendengar rengekan
anak-anak saya, ma’af saya khilaf” katanya lagi penuh emosi. “iya pak, ga apa-apa, asal jangan diulangi
lagi bapak ya. Lebaran kan tidak harus pake baju baru. Anak-anak bapak masih
bisa dikasih pengertian yang baik tentang lebaran” sahutku polos, kurasa
hanya itu kosa kata yang kupunya, aku berfikir keras apa lagi yang harusnya
kukatakan. Hm, aku memang belum bisa memberi nasehat selain itu. “ayo bapak, sahur dulu, nanti keburu imsak”
lanjutku.
Bapak
itu memandangku ragu, “boleh saya bawa
pulang makanannya nak? Istriku dirumah mungkin belum sahur” katanya pelan. “Masya Allah, so sweet” pikirku merasa
trenyuh juga kagum. “tapi kan makanannya cuma
sedikit pak, mungkin tidak cukup untuk berdua” gumanku. “tidak apa-apa nak, segini sudah cukup”
katanya. “baiklah pak, tunggu sebentar”
ujarku sambil membawa masuk makanan tersebut dan memindahkannya kedalam kantong
plastik. Kutambahkan semua nasi yang ada di rice cooker dengan beberapa biji
telur bekal yang ditinggalkan kakak buatku. Aku ingat kalau kemarin aku punya
honor MC ketika ada acara seminar nasional Geografi sekitar Rp.100.000, aku
masih belum memakainya. Maka segera aku masuk kamar dan tanpa pikir mengambil uang tersebut.“bapak,
ma’af saya ga bisa bantu banyak, bapak jangan lakuin hal kayak tadi lagi ya?” kataku
dengan senyum lega.
Si
bapak tersenyum serba salah, malah kupikir senyumnya lebih mirip meringis
daripada senyum. Dengan kikuk tangannya terulur mengambil kantong plastik yang
kusodorkan. Hati-hati kembali kuberikan uang Rp.100.000 ke arah si bapak “ini sekedar uang untuk tambah-tambah
belanja sahurnya ibu”, wajah si bapak kembali memerah, kesedihan dan
penyesalan diwajah itu semakin terlihat. “saya
ga tau harus bilang apa nak, saya sangat berterima kasih dan sekaligus minta
ma’af atas semuanya”. “sudahlah pak,
bukan apa-apa kok, cuma makanan doang. Tapi jangan lupa ya pak, besok pagi
harus datang memperbaiki jendela saya. Ntar saya dimarahi sama kakak”
kataku berusaha mengurangi rasa kikuknya, “nggih,
nggih”. Katanya setengah bergegas namun dengan nada sungguh-sungguh.
Ku
antar si bapak ke depan gerbang “cepatan
bapak, imsaknya tinggal beberapa menit lagi” seruku mengingatkan bapak yang
berjalan gontai menuju rumah kontrakannya. Setelah si bapak lumayan jauh,
dengan sedikit berlari aku masuk kembali kedalam rumah dan mengunci pintu
gerbang serta mencoba mengunci jendela yang tadi dicongkel dengan kawat. “ampun,,,,bagaimana nasib Brazil dan
Venezuala tadi” kataku agak panik. Segera aku ke ruang TV, selebrasi kemenangan Brazil 3-0 atas
Venezuala sedang berlangsung. Aku sedikit kecewa, tapi setidaknya team
kesayanganku menang, meskipun aku telah melewatkan moment-moment penting saat
Brazil menyerang gawang Venezuela. “ups,
aku juga kayaknya ga bakal pake baju baru lebaran ini” ujarku pada diri
sendiri. “tapi tak apalah, semoga uang
yang harusnya buat baju baru tersebut lebih bermanfaat buat si bapak ketimbang
kalau aku pakai” do’aku tulus. Azan subuh berkumandan memanggil seluruh
umat Islam untuk mengagungkan Sang Pencipta.
Pagi,
hari ke-11 puasa, lengking HP Nokia 3315 kesayanganku membangunkan. Hmm, nama “ketua panitia” muncul dilayar
hitam-putihku. Pukul 08.00 “God”
seruku kaget, tentu saja aku harus segera ke kampus. Aku tidak bisa bayangkan
wajah ganteng ketua panitia ‘Pesantren Ramadhan’ bakal berubah jadi singa ketika
memelototiku gara-gara keterlambatan ini. Omelan dari teman-teman panitia tentu
sudah menungguku, wajah-wajah masam seksi acara yang dari tadi tengah malam
mengurus peserta tentu sudah tak bisa kubayangkan. “ah, aku kan hanya seksi konsumsi, tugasku ntar sore kok” bisikku
terkantuk-kantuk sambil menekan tombol off di HP ku. Aku kembali pulas.
End
Irh@
Kamis, 28 Juni 2012
My Beloved One
Mengingatmu
adalah memutar kembali setiap memory yang bisa ku ingat selama aku pernah
ada dalam kehadiranmu, kesadaranku dan kebersamanku bersamamu,,, memori yang
kutau hanya sebagian kecil dari sisa hidup penuh duka dan suka yang Allah
hadiahkan untukku, untuk bisa memelukmu dalam seluruh kesempurnaan hadirmu,
untuk semua yang menyayangimu, dan juga untukmu sendiri. Hadiah kehidupan yang
begitu indah kau maknai dalam cerita-cerita sahajamu yang penuh inspirasi,
insipirasi bagi aku, bagi mereka yang menghargai setiap keutamaan sikap,
kejujuran, kesederhanaan, dan satu istilah yang baru aku fahami kini
"zuhudmu" akan dunia yang memang tak pernah kau rasa. Inspirasi bagi
pribadiku dalam memilih arah hidupku dikemudian hari, meski dalam kesahajaan
pribadimu, dalam sedikit bahasa dan tutur yang kau katakan, dalam semua
kekurangan2 bernilai "materi" duniawi kita, aku dan diriku serta
semua orang2 yang menyayangimu. Dalam diam kutemui ribuan mutiara teruntai
ketika beberapa patah katamu kau ucapkan, kesederhanaanmu membuatku mampu
terpesona akan wibawa dan karisma yang begitu agung yang memancar dari jiwa
rapuh nan ringkihmu. Hingga satu kata darimu mampu membuatku tak akan pernah
berani mengangkat wajah menatapmu. Satu teguranmu adalah ribuan nasehat yang
terpateri yang mengawal pilihan2 hidupku kemudian.
Kejujuran yang
berlandaskan ketakutanmu akan kecintaan pada Sang Pencipta dimana kini kau
telah bersemayam, menjadikanku bahkan tak pernah berani bicara kejujuran diri
sendiri. Pernah suatu ketika ketika tubuh mungilku masih terus bergayut manja
dipangkuanmu, kau menemukan uang 100rp dijalan. Aku memintax dengan merengek,
kau usap kepalaku penuh sayang dan kau bilang "ini bukan uang kita
nak". Ku dibawanya ke mesjid dan ditunjuknya, "ini yang lebih
berhak". Aku hanya manyun tak mengerti, hal kecil yang kupelajari sejak
kecil. Membuatku tak berani berspekulasi tentang "kejujuranku"
pribadi. Inspirasi pendidikan karakter yang kukenal kini dengan istilah
"soft skill" adalah cara sederhanamu mendidik aku dan
generasi-generasimu yang lain. Seingatku aku bahkan tak pernah mendengarmu
tertawa terbahak-bahak layakx diriku dan orang2 lain kini, senyum simpulmu
cukup membuat kami mengerti bahwa kau bersenang hati, marahmu hanya terlihat
dari diammu. Apalagi lontaran kata-kata kasar dan cacian, kau haramkan terucap
dari lidahmu yang semoga diampuni oleh Allah apabila kau pernah melakukan
kekeliruan itu.
Aku bahkan begitu
jelas mengingat ketika ada teman-temanku yang berbicara kasar dan tidak sopan
dan terdengar olehmu, maka aku dan kakak2ku akan segera ditegur dan diajak naik
ke rumah,demikian pula ketika ada tetangga yang berkelahi, maka kami semua
wajib mengunci pintu dan tidak boleh dengar apalagi menonton. Waktu itu, otak
kecilku sering protes, kenapa aku tidak dibiarkan seperti anak2 lain. Dimana
ada keributan, maka semua berlari mendekati, tapi tidak untukku dan
kakak2ku.Sering kuberanikan diri meminta kepadamu, kenapa tidak boleh melihat
orang berkelahi. Katamu dengan sederhana "tidak ada orang yang berkelahi
dengan kata2 yang baik, semua saling mencaci dan mencemooh, Allah tidak
memberikan telinga untuk mendengar hal2 seperti itu, demikian pula yang
lainnya" sambungmu. Aku malu pada Allah, padamu dan pada diriku sendiri
yang sampai sekarang tak pernah bisa sepertimu. Kau tidak pernah mengenal
istilah teori pendidikan secara konseptual; behaviorism, naturalism, humanism
dll yang kupelajari kini adalah bahasa asing nan aneh ditelingamu. Tapi caramu
menyayangiku, mendidikku, menasihatiku adalah kumpulan seluruh teori2 asing
itu, setidaknya bagi diriku.Dan itu telah menjadi benang perekat dirimu dalam
seluruh kenanganku tentangmu.
Waktu yang
akhirnya merubuhkan semua kekuatan raga fanamu, membiarkanmu berbaring dalam
raga yang terpasung penyakit, membawaku dalam pertanyaan "keadilan"
pada Dia yang mencipta aku dan dirimu, dalam pikiran picikku ku menanyakan
"adakah dosa besar yang tak terampuni yang kau lakukan selama hidupmu,
hingga begitu tega Sang Maha Kuasa memupus harapan pada sosok kebanggaanku?,
tapi dengan tabahmu kau meminta pada-Nya, "aku hanya memohon, semoga Kau
memberiku kekuatan untuk bisa sholat berjama'ah dimesjid setiap waktu".
Tetes airmata kesalku sering bergulir ketika kulihat jasad ragawi semakin hari
semakin lemah. Bahkan kata2 bijakmu sudah terasa sulit kau kasih untukku. Namun
harapanmu dan kekuatan hidup dimatamu tetap menatapku tegar, tatap mata penuh
do'a itu menuntunku dalam pijak2 mungilku menuju hidup dan pilihan yang
kuyakini "benar" setidaknya menurutku, semoga kaupun mengatakan hal
yang sama.
Di suatu malam,
ketika aku mengadakan sebuah acara bersama teman2ku, dan aku kebagian ceramah
waktu itu, aku pulang sekitar pukul 2 malam. Ibuku yang membukakan pintu,
kupikir kau sudah tidur, aku melangkah hati2 melewati pembaringanmu.
"Khumairah (kau sering memanggilku dengan nama lengkapku), ede caru
ceramahmu anae (ceramahmu bagus nak)" katamu mengagetkanku. "oh,
belum tidur "sahutku cepat dan bersemangat, "kan sudah malam".
"aku sengaja belum tidur, aku menunggu giliranmu berceramah dan
mendengarkan" katamu lembut (dan aku memang tidak pernah bisa selembut
dirimu). Kebanggaan sering kurasa dalam pujian2mu akan semua yang kulakukan
meskipun tak berarti dimata orang lain. Kau sengaja membelikanku hadiah dan
diserahkan kepanitia MTQ untuk dihadiahkan kepadaku hanya karena aku bisa hafal
surat Al-Falaq waktu aku umur 7 tahun. Dan sering aku berjanji pada diriku
bahwa aku akan selalu membuatmu bangga. Namun, itu hanya omong kosong ternyata,
sejak SMA aku bahkan tak pernah bisa melakukan hal yang berguna buatmu.Hingga
kini, ketika aku ingin kau melihatku menjadi seseorang yang lebih baik dari
dulu (lagi-lagi hanya menurutku), semua sudah terlambat, bahkan kau tidak
sempat menyaksikan wisuda sarjanaku, ataupun melihat fotoku ketika memakai toga
yang disematkan oleh Rektor karena aku wisudawati terbaik.
Meskipun kini aku
bisa melakukan 1 hal yang kau minta dan kau nasehatkan padaku setiap kau
melihatku berkeliaran dengan baju kaos dan celana pendek. Aku cukup bersyukur
sebelum kau menghadap Dzat yang kau cintai, kau telah sempat melihat
Khumairahmu berjilbab (walaupun mungkin tidak sempurna dimata Allah). Kini,
yang tersisa hanya rekaman memori yang tersimpan abadi dalam kenanganku, semoga
do'a yang kukirim selalu untukmu disana diterima dan dikabulkan oleh Dzat
Pemilik Jiwamu. Semoga orang2 saleh yang kau cintai selama hidupmu adalah
teman2 yang menemanimu di alam sana.
Kenangan
bersamamu adalah motivasi bagiku dalam melangkah dan memilih jalan yang baik
buatku. Semoga kenanganku akan kebanggaanku padamu tetap hadir menemaniku dan
menua bersamaku hingga inspirasi2 yang pernah terpancar dari sosokmu akan terus
hidup dalam generasi-generasiku selanjutnya. Meski setiap lebaran tiba,
bayangmu masih kuharap ada dan berdiri di mimbar mesjid dan melantunkan khotbah
Hari Raya seperti biasanya. Tapi cukuplah semua yang kau berikan padaku, do'aku
pada Sang Pengabul Do'a. "Ya Allah, sampaikan pada ayahku, aku meminta
ma'af atas sikap dan perilaku ku terhadapnya selama beliau hidup, aku tidak
sempat melihat hembusan nafas terakhirnya dan mencium wajah sahajanya untuk
terakhir kalinya. Dan apabila selama hidupnya ada kesalahan yang beliau
perbuat, maka ampunilah beliau. Tempatkanlah beliau bersama orang2 yang Kau
sayangi, bukan dengan orang2 yang Kau murkai. Sampaikan padanya ya Allah,
semoga beliau juga mendo'akan Khumairahnya agar bisa menjadi insan harapan-Mu
sekarang dan kelak selamanya. Amin, allahumma amin.
Memories of my beloved father
Humaira
Senin, 28 Mei 2012
KISAH KEAJAIBAN CINTA ira
KISAH
KEAJAIBAN CINTA
Para Pemain:
Jalaluddin
Ar-Rumi :
Syamsuddin
Tabriz :
Kimya
(anak angkat Rumi) :
Kerra
(isteri Rumi) :
Beberapa
orang murid Rumi :
Hatije
(sahabat kimya) :
Sultan
Walad (putera Rumi) :
PROLOG = cerita tentang
jalan sufi Jalaluddin Ar-Rumi (seorang sufi yang lahir di Balk yang sekarang
dikenal dengan Afghanistan pada tahun 604 H/ 1207 M) dalam mengarungi lautan magfirah menuju
kesejatian cinta, kenangan akan persahabatannya yang “tidak biasa” dengan sang
guru “Syamsudin Tabriz” yang menjadi inspirasi syair-syairnya tentang kerinduan
akan penyatuan dengan ilah. Dan dilematis rumah tangga yang terbangun dalam
“keajaiban” cinta sang “matahari” kepada isteri yang diamanatkan oleh sang
sahabat. Dinamika yang terbangun dalam pesona cinta yang tentatif antara hamba
dengan hamba serta cinta yang eternal antara sang pecinta (makhluk) dengan yang
dicinta (Al-Khalik). Dalam tarian “sema” yang eksotik, yang dipercaya
mampu mengantar sang cinta “darwis” kepada yang dicinta, menaburkan extase
cinta pada Sang Pemilik Kesejatian Cinta.
Makhluk-makhluk
bergerak karena cinta. Yaitu cinta oleh keabadian tanpa permulaan. Sebagaimana
angin menari-nari digerakkan kuasa semesta. Karena itu iapun bisa menggerakkan
pepohonan.
Cerita berawal dari
kedatangan seorang yang bernama “Syamsudin Tabriz” di Konya (tempat kediaman
Jalaluddin Ar-Rumi). Yang mengantarkan Maulana dalam meditasi yang panjang,
yang membuat Maulana larut dalam keasyikan bertemu dengan “Sang Kekasih”, yang
mengakibatkan semua murid Maulana, anak2x dan masyarakat Konya melihatnya tidak
biasa. Dan bahkan banyak murid-murid Maulana yang protes karena ketidakhadiran
sang guru yang begitu lama dan hanya oleh karena seorang “Syams”.
Jalaluddin dan
Sahabatnya mengasingkan diri dalam meditasi yang berminggu-minggu, tanpa makan,
minum dan segala bentuk interaksi sosial.
Kerra : (selalu
menyediakan makan, minum, pakaian untuk ganti di depan kamar tempat suaminya
berkhalwat dengan Syam), "sudah dua minggu Maulana mengasingkan diri, tak
makan dan minum, siapa sesungguhnya lelaki itu, yang telah begitu jauh
mempengaruhi suamiku (bicara sendiri)”.
Selang beberapa menit kemudian. Keluarlah Rumi dengan
Syams dari dalam kamar, dengan garis mata yang dalam menandakan kurang tidur,
wajah yang kurus, lingkaran hitam di matanya begitu kontras dengan wajah yang
pucat, Rumi menemui isterinya. Di belakangnya berjalan Syams seangkuh matahari.
Rumi : (sejurus
memandang pada Kerra, kemudian menunduk dan akhirnya tersenyum pada isterinya).
Kerra : (memperhatikan
suaminya lantas menunduk) “kau bahagia rupanya”.
Rumi : (menggeser dan
mengenalkan sahabatnya) “ini Syamsuddin, sahabat karib jiwaku”. (terdiam sesaat
dan berkata dengan perlahan) “kau harus memperlakukannya sebagai hal paling
berharga dari diriku”.
Kerra terdiam dalam sunyi, dan mereka berdua
meninggalkan Kerra dalam diam. Selang beberapa lama tiba-tiba masuk Kimya
dengan berlari-lari.
Kimya :
(Terengah-engah) “Maulana dan sahabatnya telah selesai berkhalwat. Mereka ada
disini, aku melihat mereka memasuki ruang belajar”.
Kerra : (menghela
nafas, mengangguk) “aku tahu. Setidaknya mereka telah menampakkan diri dan aku
bahagia. Tetapi Kimya……..(ragu-ragu), aku juga takut” (dengan tubuh yang
menggigil).
Kimya : (khawatir dan
meletakkan selendangnya pada leher Kerra) “itukah Syam?”
Kerra : (mencoba
tenang, mengangguk) “aku tak tau apa yang terjadi pada diriku. Jangan dengarkan
aku Kimya, aku hanya cemas. Sepertinya mereka tidak memperhatikan kesehatan
mereka”. (mendesah) “ mereka yang pergi terlalu jauh, akan kehilangan
pijakannya di bumi ini”.
Sang Maulana dan Sahabatx bagaikan tak terpisahkan
lagi, selalu berdua. Sudah beberapa waktu sang Maulana tidak mengajar lagi,
hingga para muridnya pun menemui putra pertama Maulana (sultan Walad).
Murid2 :”Katakan pada
ayahmu, tanpa cahaya pengajarannya, hidup ini rasanya tak tertahankan membebani
kami. Katakan kepadanya, tanpa kebijakannya, kami bagaikan orang buta yang
tersandung di kegelapan.”
Sultan Walad : “aku
juga jarang melihat ayahku belakangan ini, dan kalaupun aku menemuinya, hanya
sebentar untuk menengok keadaannya dengan Syams.
Murid2 :”Maulana sudah
berubah, beliau sekarang hanya memperhatikan Syam dari Tabriz itu, seolah-olah
dia adalah segalanya, beliau sudah tidak pernah ceramah, apalagi ke madrasah.
Bahkan mengajar ngaji seperti dulu sama sekali tidak pernah beliau hiraukan
lagi. Syam yang angkuh itu benar-benar menjauhkan kami dari Maulana.
Sultan Walad
:”bagaimana kukatakan pada kalian dan bagaimana kujelaskan makna yang tercipta
dalam setiap sunyi yang hadir di kedamaian jalan menuju Maghfirah-Nya.”
Murid2 :”apakah
Maghfirah yang kau katakan itu, lihatlah Maulana sekarang, beliau seolah-olah
tidak berada di dunia, dengan tubuh kurus yang tak terurus, terkadang tertawa
sendiri seperti orang gila, kemudian menangis meraung-raung tanpa sebab, bahkan
yang lebih parah Maulana nenari-nari dijalan yang ramai seperti orang yang
tidak sadar akan dirinya, hingga di soraki orang gila oleh anak-anak dijalan,
ini semua karena Syams pengacau itu, dia telah menjauhkan Maulana dari Allah,
dia tukang bid’ah, dia telah menghilangkan wibawa dan karisma Maulana kita.
Sultan Walad hanya terdiam tak mampu menjelaskan apapun
pada murid-murid sang ayah, demikian pula dengan Kerra (sang instri Maulana)
dan Kimya (puteri angkat Maulana), mengalami pergolakan batin yang hebat dengan
sikap Maulana.
Kimya :”(termenung,
duduk dengan tatapan yang menerawang)
Datanglah sahabatnya Hatije. Mendekat dan duduk di
sisi Kimya.
Hatije :” Kimya, kau
sedih?” (memandang dengan simpati)
Kimya :”aku tidak
sedih, tidak seperti itu”
Hatije :“lantas kenapa,
sekarang kau jarang bercerita dan selalu termenung”.
Kimya :”aku mencoba
menangkap sesuatu, seperti mencoba menarik sehelai benang supaya melewati
lubang jarum yang sangat kecil, kau harus penuh perhatian, bergeming dan
berkonsentrasi penuh. Sa’at kita hendak menarik benang agar melewati jarum,
pikiran kita tak boleh teralihkan, kau tak ingin pikiranmu teralihkan.
Hatije : (mencoba
bersungguh-sungguh dan memahami)”mungkin aku mengerti”(berkata sambil tersenyum
lebar).
Kimya : “ tapi kau
tahu, aku tak ingin pikiranku teralihkan, hal itu begitu kuat. Itulah yang
telah lama kunanti.
Hatije :”apa yang
terlalu kuat itu, apa yang kau nanti, dan apa yang ingin kau tangkap?, apakah
menyangkut sahabat Maulana, Syams itukah yang mengalihkan pikiranmu?”
Kimya : (menghela
napas)”sesuatu yang ada dalam diriku, aku tak tau bagaimana cara menjelaskannya
padamu. Rasanya seperti sesuatu memanggilku sekaligus menjawabku pada waktu
yang bersamaan. (terdiam beberapa saat), tadi malam aku bermimpi, ketika aku
duduk di depan kamarku, seseorang yang aku yakin itu adalah Syams,
mendatangiku, ketika aku melihat matanya yang kelam menusuk, hatiku bergemuruh
seperti badai, menghancurkan semua ketenangan yang kumiliki, namun sebelum
sempat ku ucap apa-apa, mata hitam itu menghilang, dan kuhanya dengar satu
ucapan, ‘Syam berada disini untukmu, hari ini dia telah menyingkap tabirnya,
perjalanan menuju asal telah dimulai”.
Hatije : (terdiam
sambil memandang Kimya terpengarah).oh…..oh…
Kimya :”tapi sudahlah,
aku tak mengerti dan kaupun tak akan mengerti.” (kembali diam dan termenung).
Beberapa
saat
Hatije :”aku sangat
berharap untuk mengerti, tapi aku pulang dulu. Lain kali kita bercerita.”
Kimya :”terima kasih
Hatije, aku menyayangimu”
Sesaat lamanya Kimya termenung sendiri, tanpa
menyadari bahwa seseorang telah hadir disisinya.
Syams :”(berjalan
kearah Kimya dengan perlahan) “bolehkah aku duduk disampingmu?” (bertanya
dengan suara yang begitu lembut).
Kimya :” (mendongak
kaget, kemudian perlahan mengangguk).
Syams : “(duduk agak
menjauh dari Kimya, menunduk dan hening)
Kimya :” (mencoba
memecahkan kesunyian dan bertanya) “apakah kota Tabriz sama dengan Konya?”
Syams : (mengangkat
kepala)“Tabriz adalah kota dengan masjid-masjid yang membiru dan lelangit yang
cerah. Sedangkan Konya adalah kota cahaya. (sejenak diam). Mawar-mawar kota
Tabriz kecil dan berwarna kuning pucat dan hatinya berdarah. Belum ada mawar
seperti itu di Konya. Tetapi suatu hari nanti, mawar seperti itu akan tumbuh
dan berkembang……………. Ada banyak perempatan jalan tempat jiwa-jiwa suci bangkit
di malam hari. Mereka berkumpul dalam sebuah kelompok seperti merpati-merpati
merah dan hijau, kemudian mereka terbang ke Mekkah dan bertawaf memutari
ka’bah.
Kimya :(menatap Syams
bingung dan gemetar serta dengan tanda Tanya).
Syams :”(tersenyum
tipis dan balik memandang pada Kimya) “ada banyak orang di Tabriz, jika
dibandingkan, aku bukanlah apa2. (kemudian bangkit) “ingatlan mawar-mawar
Tabriz, mereka dekat dengan Allah, hanya hati yang berdarah yang bisa
menemukan-Nya…..“tapi terkadang, manusia melupakannya. Ketika mereka terpanggil
dan hati mereka dibuat berdarah, mereka malah mengeluh, bukannya bersyukur.
(menatap Kimya dengan tajam) “tetapi kau Kimya, kau tidak akan lupa.” (sebelum
Kimya menjawab apapun, Syams telah melangkah pergi begitu saja meninggalkannya
dalam kebingungan).
Setelah setahun kemudian, tiba2 Syamsudin At- Tabriz
menghilang secara misterius semisterius kehadirannya di Konya, Rumi mencari
kemana-mana, dengan segala cara dicarinya informasi keberadaan Syam, hingga
karena keputusasaanya, meluncurlah syair-syair kerinduannya akan sang sahabat,
yang tertuang dalam Diwan-I-Syams-I Tabriz.
Biarkan aku bercerita
tentang keajaiban-keajaiban Dikau, oh Cinta!
Ijinkan aku membuka
pintu Ghoib bagi makhluk, dengan ucapan.
Wajahmu bak mentari,
wahai Syamsuddin
Yang dengannya hati
berkelana bagai cawan!
Engkaulah mentari, kami
hanyalah embun
Kau bimbing kami ke
tempat tertinggi.
Karena aku hamba sang
mentari
Maka aku hanya kan
berbicara dengan mentari.
Namun, tiba-tiba muncul
kecemburuan dari Tuhan
Dan mulut-mulut menjadi
kasak-kusuk
Aku adalah Zahid yang
pandai, orang yang berjuang.
Kawanku, katakan kenapa
kau terbang seperti burung.
Aku menulis seratus
surat, aku meniti seribu jalan.
Tampaknya kau tak baca
selembar suratpun
Tampaknya kau tak
ketahui satu jalanpun
Bila orang itu
mengatakan “aku telah melihat Syams!”
Maka tanyakanlah, kemanakah
jalan menuju Surga?
Sekian lamanya, Maulana diselimuti
kerinduan dan kesendirian, meskipun seluruh masyarakat Konya bersorak atas
kepergian Syams, namun Sultan Walad sang anak sulung merasa tidak tega melihat
kesedihan yang nampak pada Maulana, maka
dengan segenap usaha dicarinya Syams diseluruh tempat hingga ia menemuknnya di
Syuriah dan membawanya kembali ke Konya disisi sang Maulana. Sekembalinya Syams
di Konya, ia akhirnya dinikahkan oleh Sang Maulana dengan Kimya (anak angkat
Maulana).
Kimya
; (termenung)
Hatije
: (datang mendekat) “tidakkah kau takut pada Syams? Sudahkah kau pertimbangkan
keinginanmu menikah dengannya? Dia bukan orang yang mudah, kita bahkan tidak
tau dia darimana, dan dia tidak pernah terlihat melakukan apapun selain, ah…. Kimya,
tolong pikirkan lagi.
Kimya
: “aku hanya mengikuti apa yang sudah tertulis”
Hatije
: (menatapnya) “jadi, sebenarnya itu bukan keputusanmu?”
Kimya
: (menggeleng) “tidak, sama sekali tidak. Ini keputusanku sendiri, walaupun aku
tau kita bisa saja menolak apa yang ditawarkan pada kita. Tetapi satu hal yang
pasti bahwa kita tidak tau apakah itu sudah tertulis untuk kita atau tidak.
Hatije
: “apakah kau bahagia?”
Kimya
: (kaget)“aku tak tau, apakah kebahagiaan adalah satu-satunya alat pengukur
kehidupan seseorang. Dan kebahagiaan itu takkan pernah terukur.
Hatije
: (menatap cemas bercampur kekhawatiran)
Kimya
: (bangkit) “Hatije, kau jangan cemas. Kau bertanya apakah aku takut. Tapi
dilanda perasaan takut atau sedih bukan berarti menandakan seseorang sudah
membuat kesalahan. Perasaan itu hinggap karena seseorang tidak benar-benar
menyimak dan mendengarkan nuraninya.”
Hatije
:”oh Kimya, kau membuatku sedih” (mulai menangis). “aku tidak mengerti satupun
kata-kata yang kau ucapkan. Kadang aku berfikir bahwa kau tidak tau apapun
tentang hidup. Tapi kadang aku malah berfikir kalau sebaliknya akulah yang
tidak faham tentang hidup dan tak mengerti apapun”
Kimya
:”sudahlah, kita berdua memang belum tau apa2. Masih banyak yang perlu kita
pelajari. Aku menyayangimu. Terima kasih Hatije.
Hatije
: ”aku berharap kau bahagia.” (berpelukan).
Akhirnya Syams dan Kimya menikah.
Dimalam pertama pernikahan antara Syams dan Kimya. Dalam kegelapan malam yang
hanya diterangi cahaya lilin. Keduanya berdiri dalam diam.
Syams
: (memandang Kimya) “kau tentunya lelah. Masuklah ke kamarmu, tidurlah dalam
damai, dan ingat bahwa Dia disini bersamamu, selamanya.”
(menyerahkan
lilin pada Kimya kemudian melangkah pergi menuju kamarnya meninggalkan Kimya
dalam sendiri).
Paginya,
Kimya menyiapkan segelah teh untuk sang suami.
Kimya
: (melangkah sambil membawa teh, berjalan pelan2, kemudian menuangkan teh
perlahan dengan agak gemetar).
Syams
: (tersenyum memandang Kimya) ”Kimya, mengapa kau cemas? Mengapa kau takut? Aku
tau begitu berat menjejakkan kaki diatas tanah ini sementara hatimu menatap ke
surga. Tetapi, ini rahasia (diam sejenak), rahasianya adalah bumi ini dan surga
tidaklah terpisah”. (mengambil gelas teh dan meminumnya). “sama sekali tidak
terpisah” (dia mengulangnya).
Kimya:
(berdiri tanpa tau apa yang dikatakan, memandang ke suaminya dengan bingung).
Syams
: (bangkit berdiri) “aku harus pergi sekarang” (melangkah meninggalkan
isterinya begitu saja).
Kimya
: (hanya memandang kepergian sang suami).
Kimya
: (merenung dan berbicara pada diri sendiri) “hidup seperti apa yang kualami
ini, Syams adalah manusia seangkuh matahari, aku bahkan tidak mengerti apa pun
tentang dia, untuk apa dia ada disini, dan kenapa dia memilihku? ”.
Malam pun larut, (suara
langkah Syams terdengar memasuki rumah, dengan cepat Kimya pergi menyambut).
Namun……
Syams
: ”jangan mengganggu. Pergilah tidur, ini sudah larut malam”.
Kehidupan keduanya berjalan “tak biasa”
bagi orang-orang biasa, Syams pergi pagi dan pulang malam, sangat jarang terjadi
percakapan bahkan interaksi antara keduanya, pagi2 Kimya hanya menyediakan teh,
dan sampai malam menunggu “sang matahari” pulang ke haribaan malam. Beberapa
minggu berlalu, Kimya tinggal dengan semua tanda Tanya dan kegundahan dalam
hatinya. Dia tak pernah keluar rumah, tak pernah lagi bersenda gurau dengan
kawan2nya. Hingga suatu hari datanglah Hatije sahabatnya.
Hatije
: “Kimya, kau tau orang-orang diluar sana membicarakanmu, kau tidak pernah
keluar rumah. Semua orang mengatakan kamu adalah perempuan yang malang, Syams
tidak mengizinkanmu keluar rumah karena dia cemburuan”.
Kimya
: (terdiam)
Hatije
: “katakan sesuatu Kimya, kau tidak bahagia kan? Dan semua orang bilang Syams
tidak pernah ke mesjid, juga dia pernah minum anggur. Apakah itu benar?”
Kimya
: (mengangkat wajah dengan marah) “semua itu tidak benar, orang-orang tidak tau
bagaimana sosok Syams seutuhnya, dan kamu harus ingat, meskipun kamu temanku,
Syams adalah suamiku”.
Hatije
: “maafkan aku Kimya (dengan wajah penuh penyesalan), aku hanya khawatir
denganmu. Berbahagialah. (melangkah keluar meninggalkan Kimya sendiri).
Kimya
: (termenung)” kehidupan seperti apa yang kini kujalani, bersamanya aku seperti
menghadapi ketidakpastian, aku sadar akan hal itu, tapi kenapa aku begitu terpengaruh
dengan semua keangkuhannya, otoritasnya, bahkan ketidakperduliannya padaku.
Masuklah
Kerra
Kerra
: “Kimya, kau terlihat pucat, kau tidak memperhatikan kesehatanmu”
Kimya
: (diam tertunduk)
Kerra
: (memandang Kimya prihatin) “ada sa’atnya, manakala do’a yang paling kering
sekalipun justru yang paling didengar Allah. Lantas Dia dengan sifat Rahman-Nya
membuat hatimu meronta, betapa kau kehilangan-Nya, merindukan-Nya”. (meraih tangan Kimya, memegangnya
seakan memberi kekuatan)
Kimya
: (tertunduk menangis). “aku tak bisa berdo’a, hatiku terluka sedemikian dalam,
aku…aku tak tau bagaimana menghentikan kepedihan ini”.
Kerra
: “kau memang tak bisa menghentikannya, ketika hatimu terluka, hanya ada tiga
aturan main; jangan mengenyahkan kepedihan itu, jangan pernah mencoba untuk
mengerti dan jangan tenggelam dalam kepedihan itu. Buatlah dirimu berserah diri
seperti sebatang pohon muda yang terperangkap dalam badai, biarkan badai itu
menghantammu. Jangan pernah menentangnya dan jangan pula membantah
keberadaannya. Bagaimana mungkin kita menafikkan angin dan hujan? Dan jangan
pernah menyesalinya”.
Kerra
keluar, pada malam harinya, dengan nyala lilin Kimya bersujud panjang kemudian
berdo’a.
Kimya
: “Ya Allah, janganlah abaikan hamba-Mu ini. Dan sungguh apa yang kulakukan
selain berserah diri kepada-Mu? Aku tau jalan yang ditempuh Syams melampaui
pemahamanku, dan kepedihanku terlalu menyakitkan untuk dipikirkan, maka
jadikanlah aku sebatang pohon yang terperangkap badai, hingga badai itu kan berlalu”.
Tiba2
datanglah setitik lilin dan langkah Syams masuk ke kamarnya.
Syams
: (berlutut dihadapan Kimya, memegang bahunya) “Kimya, Kimya, tataplah aku”.
Kimya
: (balik menatap Syams dan kemudian bersujud di lutut Syams sambil menangis)
Syams
: “kau tidak usah takut sayang, tak ada yang perlu kau takutkan, cinta tiada
berakhir, cinta adalah lautan tak bertepi, kau harus belajar menanggung
penderitaannya”.
Kimya
: (bangun, dan memandang Syams penuh Tanya) “aku tak mengerti?”
Syams
: “jangan, jangan pernah mencoba untuk mengerti, ini adalah sebuah anugerah.
Tubuh telah mengenal sang jiwa dan jiwa telah mengenal sang tubuh, dan
selama-lamanya akan ada dalam keabadian. Kini, engkau lenyap dalam Wujud.
(Syams memandangnya dan Kimya tengadah sambil menangis) cara Tuhan mengajari
kita mengenal-Nya memang tak terbatas, Hanya Dia. Cinta yang kau rasakan hanya
Untuk-Nya, aku hanyalah pelayan-Nya, jangan pernah lupakan itu Kimya.
Kimya
: (memandang dengan panic) “apakah cintaku padamu salah?, apakah kecintaanku
padamu merupakan semacam penghinaan pada Tuhan?”
Syams
: “kau harus hati2 sayang, kau harus hati2 dan tidak keliru dengan membaurkan
cintamu padaku dan cintamu pada Allah, cinta tak lain adalah aliran napas Tuhan
yang selalu menyertai napasmu”.
Kimya
: “bagaimana bisa kau begitu kejam, aku menyerahkan seluruh jiwaku pada cinta
yang hanya untukmu secara kemanusiaanku” (menangis).
Syams
: (menghapus air mata Kimya dengan lembut) “berhentilah meratap, hikmah dari
Allah datang sebebas burung dan begitu juga jiwamu. Do’amu akan terkabul,
tidurlah, waktumu tinggal sebentar lagi, sangat singkat.”
Syams
: (bangkit meninggalkan Kimya dalam sendiri).
Sejak sa’at itu, Kimya larut dalam
kebersamaannya dengan Sang Pemilik Cinta sejati, Kimya larut dalam rasa cinta
yang ganjil yang dihadirkan Syams padanya, tak ada lagi hasrat akan nilai-nilai
keduniawian, yang ada hanyalah keindahan abadi dalam jiwa yang menyatu dengan
napas sang Pencipta. Hingga beberapa sa’at kemudian, tubuh jasmani Kimya
semakin lemah dalam kekuatan jiwa rohaninya. Hingga puncaknya, suatu hari
ketika dia keluar bersama sahabatnya Hatije, Kimya jatuh karena lemahnya.
Hatije
: (kaget melihat Kimya jatuh, kemudian memangkunya) “kamu kenapa Kimya, kau
sakit, kamu harus jujur padaku, selama ini kamu tidak bahagia kan?” (memandang
Kimya cemas)
Kimya
: “bahagia? Aku tidak bahagia, tapi aku…aku merasa hidup. Hidup yang lebih
hidup daripada yang pernah kurasakan sebelumnya, apa yang dulu kunikmati, kini
tak lagi menarik minatku. Aku tau, kadang-kadang terasa menyakitkan, tapi
bagiku rasa itu begitu agung, setiap embusan napas adalah sebuah kehidupan
seutuhnya, sebuah keabadian.
Hatije
: “matamu begitu bercahaya (memandang Kimya cemas) tapi mengapa aku tak pernah
memahamimu?”
Kimya
: “tak apa Hatije, kita memang berbeda. Itu saja, semua berjalan sesuai
kehendak Tuhan. (terdiam sesaat dan menghela napas) bagaimana aku meyakinkanmu
bahwa Syams sesungguhnya orang yang baik’.
Hatije
:”tahukah kau bahwa sekarang orang-orang semakin marah pada Syams daripada
dulu, mereka mengatakan bahwa Syams telah menenung Maulana dan menjerumuskanmu
pada penderitaan. Dan aku yakin, Syams berada dalam bahaya sekarang.”
Kimya
: “Syams adalah tuan dari takdirnya sendiri, dia sebebas angin berhembus”
(tubuhnya semakin lemah).
Hatije
: (panic, memanggi-manggil Kimya) Kimya…..Kimya”
Semua
orang masuk (Syams, Kerra, Maulana Jalaluddin Ar-Rumi, dan Sultan Walad)
Kerra
: “Kimya, ada apa denganmu?.
Kimya
: (dengan suara lemah) “tidakkah kau lihat, aku akan pergi kemanapun yang
kuinginkan” (memandangi suaminya “Syams” menyentuhnya lembut penuh cinta
kemudian memejamkan mata untuk selamanya).
Serempak
mengucapkan “innalillahi wainna ilaihi raji”un”.
Narasi
Cinta,
Kaulah setiap nada dan kaulah sang
music
Kaulah sang lilin dan kau sang api
Kaulah kegembiraan dan kau jualah
pancaran cahaya
Kaulah cinta dan kau bukan APA-APA.
Cinta itu samudera yang gelombangnya
tak terlihat
Air samudera itu api, sedangkan
ombaknya adalah mutiara.
Karena cintalah, semua rasa pahit
akan jadi manis
Karena cintalah yang merubah tembaga
menjadi emas
Lewat cintalah semua endapan berubah
jadi anggur murni
Lewat cintalah, kesedihan akan jadi
obat
Karena cintalah, si mati menjadi
hidup
Karena cinta, raja bisa menjadi
budak.
Setelah
kematian Kimya, Syams pun kembali menghilang dari Konya dan ini untuk
selamanya. Sang Maulana Jalaluddin Ar-Rumi kembali mencari sang sahabat namun
tak pernah menemukannya.
Lihatlah, aku telah banyak
mencoba,
Dan mencari dimana-mana
Tetapi tak pernah ku temukan sahabat
seperti dirimu.
Aku telah mencoba setiap pancuran,
setiap butir anggur
Namun, tak kurasa keindahannya kala
bertemu denganmu”
Disadur dari novel : KIMYa Sang Puteri Rumi
Langganan:
Postingan (Atom)